Salin Artikel

Kisah Tunanetra Penyadap Nira di NTT, 27 Tahun Panjat Pohon 20 Meter demi Hidupi Diri

Mengenakan kaus berkerah warna abu-abu dengan celana olahraga hijau tanpa alas kaki, Rik berjalan menuju pohon lontar yang berjarak sekitar 200 meter dari tempat ia tinggal.

Rik sempat berhenti di sebuah bak. Dia meraih segayung air dan membasuh wajah.

Kemudian, dengan langkah perlahan, Rik membawa dua jeriken bekas berukuran lima liter yang dipikul di bahunya, menggunakan alat dari bambu.

Langkah kaki pria berusia 47 tahun itu kadang terhenti, karena keterbatasan fisiknya. Rik adalah seorang penyandang tunanetra.

Namun hal itu tak menyurutkan langkah Rik menyadap nira demi menyambung hidup.

"Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membantu menafkahi diri dan orangtua," kata Rik sembari tersenyum, Minggu.

Panjat pohon 20 meter

Rik menyadap nira dari pohon lontar setinggi 20 meter. Selanjutnya hasilnya diolah menjadi minuman yang bisa dia jual.

Uang hasil penjualan minuman digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Dengan keadaan fisik Rik, proses untuk menyadap nira tidak mudah. Rik memanjat pohon lontar tanpa mengenakan alat pengaman apa pun.

Peralatan yang dibawanya saat naik ke pohon hanya sebilah pisau yang diselipkan di bagian pinggang kiri. Dia juga membawa karung plastik berwarna putih yang berisi dua jeriken.

Karung itu dililitkan di bagian pinggang dan dikaitkan dengan ikat pinggang, sehingga tidak terjatuh saat memanjat.

Rutinitas anak pertama dari delapan bersaudara pasangan suami-istri almarhum Hermanus Luin (alm) dan Dortia Luin-Neno (68) tersebut telah dilakukan selama 27 tahun.

Rik melakukan kegiatan tersebut setiap pagi dan sore dilakukan, tanpa bantuan orang lain.

Meski tak dapat melihat, Rik bisa mengetahui setiap pohon lontar yang disadap. Dia tidak pernah salah mendatangi pohon-pohon lontar mana yang akan dipanjat.

Jarak antar pohon lontar berkisar 20 hingga 30 meter. Ketinggian pohon lontar yang disadap antara 15 sampai 20 meter.

Rik menuturkan, awalnya dia dilahirkan dalam kondisi normal. Matanya tak dapat melihat pada saat dirinya berusia 18 tahun.

Saat itu, Rik sudah menyelesaikan Sekolah Dasar (SD), namun karena masalah ekonomi keluarga, dia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Rik lebih memilih membantu kedua orangtuanya untuk menyekolahkan adik-adiknya ke jenjang SMP.

Rik masih ingat betul, pada tanggal 3 September 1994, dia baru pulang menjaga mangga miliknya yang sedang berbuah dan dimakan burung Nuri.

"Waktu itu, saya membawa senapan angin dan hendak melewati pintu pagar kebun. Tiba-tiba senapan tersebut meletus dan mata kanan saya tidak bisa melihat hingga berpengaruh ke mata kirinya, sehingga mulai saat itu saya tidak bisa melihat total," ungkap Rik.

"Saya sangat yakin bahwa yang kena mata bukan peluru karena saat itu laras senapan melewati kepala dan darah yang keluar sedikit. Sebulan kemudian mata kiri ikutan sakit dan mulai kabur hingga buta total," sambungnya.

Kondisi fisik yang tak lagi normal, tidak membuat Rik yang saat itu beranjak dewasa putus asa.

Menyadap nira

Tiga tahun setelah kejadian, ia memutuskan untuk sadap nira lontar guna dimasak menjadi gula dan memelihara ternak (babi).

"Awalnya bapak larang karena saya tidak bisa melihat. Tapi saya minta bantuan ke adik-adik lalu saya mulai iris tuak (sadap lontar). Kebetulan jauh dari rumah jadi tidak diketahui oleh bapak," ungkap dia.

Tak berlangsung lama, aksi itu pun diketahui sang ayah. Meski begitu, sang ayah tidak bisa menghalangi niat Rik hingga saat ini.

"Awal-awal itu memang adik-adik tuntun tapi ketika sudah biasa saya melakukan sendiri," ujarnya.

Rik mengatakan, dia selalu melakukan aktivitas tanpa mengenakan alas kaki dengan tujuan agar bisa merasakan jalan yang ia lalui.

Di bawah pohon lontar sudah diletakan satu batang dahan lontar. Tujuannya menandai bahwa pohon lontar tersebut adalah salah satu pohon yang disadapnya.

Selain bisa mengetahui letak pohon lontar, ia juga diberikan pengetahuan khusus yakni bisa mengetahui tandan bunga (bunga lontar) sudah keluar atau belum hanya dengan mengetuk pohon lontar.

"Saya bisa tahu, bunga lontar itu sudah keluar atau belum hanya dengan mengetuk pohon tuak (lontar). Kalau sudah ada bunga, bunyinya lain. Jika sudah keluar saya panjat untuk melakukan pembersihan. Setelah itu baru mulai iris (sadap)," katanya.

Setelah mengiris nira, selanjutnya dimasak menjadi gula dan dijual kepada masyarakat yang ingin membeli.

Alen Luin (49) kakak sepupu Rik mengaku, keluarga sudah melarangnya untuk berhenti memanjat pohon karena menurutnya sangat berbahaya. Tapi Rik berkata, hanya itu yang bisa dia lakukan.

Ia mengungkapkan bahwa adiknya tersebut merupakan sosok yang rajin dan pekerja keras.

"Kita kerja berat seperti menggali fondasi rumah, rontok padi dan pekerjaan berat lainnya," katanya.

Kerja keras Rik membuat anggota keluarganya tersentuh.

"Kami memang terinspirasi karena orang buta saja bisa sadap nira, kenapa kita yang normal tidak bisa," ujarnya.

Dortia Luin-Neno, ibu kandung juga mengaku anaknya merupakan sosok yang rajin dan pekerja keras.

"Dari kecil dia (Rik) ini memang pekerja keras. Saat ini dia yang membantu saya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari," kata Dortia.

Dortia berharap, aktivitas anaknya selalu berjalan lancar. Dia pun selalu mendoakan semua anak-anaknya termasuk Rik. 

https://regional.kompas.com/read/2023/07/24/143149078/kisah-tunanetra-penyadap-nira-di-ntt-27-tahun-panjat-pohon-20-meter-demi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke