Salin Artikel

PT RPSL Dituding Rusak Lingkungan, Pemkot Jambi Bantah Ada Alih Fungsi Perusahaan

JAMBI,KOMPAS.com - Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi membantah PT Rimba Palma Sejahtera Lestari (RPSL) melakukan pengalihan usaha dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) biomassa menjadi pengolahan kayu.

PT RPSL disorot publik setelah mengabaikan protes siswi SMPN 1 Kota Jambi, Syarifah Fadiyah Alkaff, di media sosial.

Fadiyah diketahui sempat dilaporkan ke polisi oleh Pemkot Jambi karena membela neneknya , Hafsah, untuk menuntut ganti rugi atas kerusakan rumah dan sumur neneknya.

"Kami tidak pernah menerima permohonan pengalihan, yang ada mereka (PT RSPL) memang punya usaha itu dari awal," kata Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Jambi, Yon Heri melalui sambungan telepon, Jumat (9/6/2023).

Ia mengatakan perusahaan telah mengurus izin sejak 2013. Saat melakukan pengurusan izin, mereka menggunakan skema Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).

Sebagai informasi, KBLI adalah pengklasifikasian aktivitas atau kegiatan ekonomi Indonesia yang menghasilkan produk, baik berupa barang maupun jasa, berdasarkan lapangan usaha untuk memberikan keseragaman konsep, definisi, dan klasifikasi lapangan usaha dalam perkembangan dan pergeseran kegiatan ekonomi di Indonesia.

PT RPSL awalnya berusaha untuk PLTU Biomassa, namun usaha tersebut tidak berkembang dan tutup. Dengan demikian, mereka mengembangkan usaha lainnya yakni pengolahan kayu.

"Kalau untuk pengalihan, mereka tidak ada mengajukan pengalihan, tapi kalau memiliki usaha lebih dari satu, itu iya. Benar," kata Heri menegaskan.

Seperti diketahui, dalam videonya Fadiyah menyebut rumah dan sumur neneknya rusak berat karena jalan di lingkungan tempat tinggal sang nenek dilintasi truk-truk melebihi kapasitas yang keluar-masuk pabrik PT RPSL.

Berdasarkan hitungan Syarifah, seharusnya perusahaan membayar ganti rugi hingga Rp 1,3 miliar. Namun permintaan itu, diabaikan PT RPSL.

Feri menduga PT RPSL tidak memiliki izin IUPHHK-HA atau izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.

"Mereka harus punya izin untuk memanfaatkan hasil hutan. Kalau tidak punya, maka mereka berkontribusi terhadap aktivitas deforestasi, penggundulan hutan di Jambi," kata Feri.

Perkumpulan Hijau, lembaga yang peduli dengan perubahan iklim dan deforestasi ini, juga telah melakukan kajian terhadap PT RPSL. Hasilnya ada kejanggalan saat penerbitan izin.

Feri mengatakan, Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesai Nomor SK.60 /1/KLHK/2020 tentang Jenis Industri, Ragam Produk dan Kapasitas Izin Produksi Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Atas Nama PT RPSL di Kota Jambi, nomornya menggunakan tulisan tangan dengan tinta biru. Hal itu, kata Feri, sangat tidak lazim.

"Apa lagi kini perizinan kan sudah berbasis Online Single Submission (OSS). Dan, secara substansi juga cacat administrasi," kata dia.


Berdasarkan Pasal 6 Permen LHK nomor P.1/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2019 tentang Izin Usaha, Industri Primer Hasil Hutan hanya dapat diberikan kepada Pemegang IUPHHK, IUPHHBK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi pada areal kerjanya.

Dengan demikian, apabila PT RPSL beroperasi di Kota Jambi, harus didukung oleh hutan produksi yang mereka kelola, sebagai sumber bahan baku.

"Jika tak punya wilayah kelola di Kota Jambi, mereka dapatkan kayu dari mana, untuk memproduksi kayu olahan sebanyak 100.000 ton/tahun. Kami khawatir ada penebangan kayu secara ilegal," kata Feri.

https://regional.kompas.com/read/2023/06/09/222343378/pt-rpsl-dituding-rusak-lingkungan-pemkot-jambi-bantah-ada-alih-fungsi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke