Salin Artikel

Cerita Warga Non-Muslim Pangalengan Bertahun-tahun Kesulitan Makamkan Jenazah

BANDUNG, KOMPAS.com - Sudah bertahun-tahun warga non-muslim di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat mengalami kesulitan memakamkan orang meninggal. Pihak desa mengonfirmasi, kasus ini hanya terkait legalitas tanah, bukan persoalan SARA.

Hal itu disampaikan Pendeta Gereja GBT Pangalengan Yahya Sukma.

Padahal, sambung Yahya, di Pangalengan terdapat 400 orang warga non-muslim yang sudah hidup berdampingan dengan masyarakat muslim.

Kerukunan itu dibuktikan dengan berdirinya 3 gereja di Kecamatan Pangalengan yang kerap aktif tanpa ada hambatan.

"Mungkin sekitar 400 orang, di sini ada tiga gereja, GKP, GPDI, GBT, terus ada juga yang adven dan katolik, cuman yang lain kan ber-gereja di Bandung," katanya dihubungi Kompas.com, Senin (8/8/2022).

Kepada Kompas.com, Yahya bercerita, penolakan terakhir kali yang diterima terjadi pada Selasa (26/7/2022).

Kala itu, Yahya hendak mengurus proses pemakaman seorang Ibu di pemakaman Sentiong, Kampung Danosari, Desa Pulosari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Saat itu, Yahya dan yang lain mengalami penghadangan dari sejumlah warga. Penghadangan itu, tak lepas dari sengketa lahan pemakaman non-muslim dengan warga yang belum menemui titik temu.

"Jadi waktu itu kita akan pasang genset, untuk penerangan proses pemakaman, tapi mengalami penghadangan. Padahal salah seorang kerabat yang mau dikuburkan waktu siangnya sudah laporan ke Kepala Desa Pulosari yang baru, yakni Agus Handali," jelasnya.

Yahya menuturkan, pihak keluarga yang akan dimakamkan telah memberitahu pada pihak desa terkait proses pemakaman.

Namun, negosiasi berjalan alot. Yahya membenarkan, pihak keluarga tidak langsung mendapatkan persetujuan.

"Sampai pihak keluarga harus mendesak berulang kali, bolak-balik ke kantor desa, waktu itu bersama-sama dengan tokoh yang disegani pihak desa," jelasnya.

Izin dari pihak desa akhirnya keluar, namun dengan berbagai syarat. Salah satunya, tidak boleh menggali lahan baru.

"Jadi harus ditumpuk dengan jenazah yang lama, gak boleh buka lagi lahan yang baru," beber dia.

Saat itu, pihak Desa mengklaim tidak bermaksud mengahlang-halangi. Namun, ketersediaan proses pemakaman dikembalikan ke warga, baik tingkat RT atau RW

"Waktu itu keputusannya gitu, sampai tingkat RT dan RW jawabannya sama menyerahkan sepenuhnya ke warga," ungkap dia.

Setelah berunding panjang, akhirnya baru sekitar pukul 21.00 WIB, jenazah dari warga Pangalengan non-muslim tersebut bisa dimakamkan.

Kendati tetap bisa dimakamkan, Yahya menyesalkan peristiwa tersebut terjadi kembali.

Pasalnya, jauh sebelum itu, penolakan terhadap pemakaman warga non-muslim sudah terjadi sebanyak 4 kali.

Tak hanya itu, Yahya menyebut kerap terjadi perusakan sejumlah nisan di Sentiong yang dilakukan oknum tidak bertanggug jawab.

"2019 ada 4 orang yang meninggal dunia dan dilarang untuk dimakamkan di Santiong oleh pihak tertentu," ujarnya.

Pemakaman untuk Warga Non-Muslim yang Miskin

Pemakaman Sentiong di Desa Pulosari tersebut, sambung Yahya, diperuntukan bagi warga non-muslim yang tidak mampu.

"Catatan kami pada 2017 ada sekitar 20 warga non-muslim yang dimakamkan di Sentiong, tanpa ada masalah," jelasnya.

Bagi yang mampu biasanya akan dimakamkan di tempat yang lain.

"Kadang- kadang kalau yang mampu, itu dimakamkan di TPU Arjasari. Tapi kalau yang kurang mampu ya di Sentiong. Itu sudah dari dulu," ungkapnya.

Di Pemakaman Arjasari, kata dia, setiap keluarga yang akan memakamkan jenazah harus mengeluarkan uang lebih dari Rp 3,5 juta.


"Biaya segitu tuh belum termasuk ambulance dan lainya. Sebenarnya mah ke Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bandung mah murah hanya Rp 80.000 per tahun, dan untuk kematian pertama itu, hanya bayar dua tahun pertama, berarti hanya bayar Rp 160.000," jelasnya.

"Ya cuman mungkin ada itulah petugas-petugas pekerja di lokasi. Jadi kalau pun kita mau bawa tukang tembok nih, itu ga boleh sama mereka, ga boleh dari luar, harus pekerja dari mereka dengan harganya yang sudah ditetapkan oleh mereka," tambahnya.

Awal Mula Sengketa Lahan Pemakaman Sentiong

Yahya menjelaskan, awalnya tanah Sentiong di Desa Pulosari, dikelola oleh Narsono.

Sebelum Narsono meninggal dunia, olehnya, Yahya diminta untuk melanjutkan pengelolaan tanah makam Sentiong.

Tahun 2002, kata Yahya, Narsono memberikan surat kuasa padanya ikhwal pengelolaan tanah makam Sentiong.

Era Kepada Desa Jajang Daman, Yahya meninta untuk dilakukan pengukuran ulang.

Hasilnya, tanah makam santiong memiliki tanah dengan lebar sebelah timur seluas 78,5 meter, sebelah barat seluas 78 meter, sebelah utara seluas 127 meter, sebelah selatan 135,5 meter, dan total luas tanah tersebut yaitu 10.270,3 meter persegi.

"Ada saksinya, waktu pengukuran lahan itu, M Nana Rukmana, Aju, Yanoe H Poly, dan Yahya sendiri. Dokumen pengukuran tanah Sentiong ditandatangi Jajang Daman sebagai Kepala Desa Pulosari, 19 Agustus 2004," beber dia.

Yahya menyebut, ada pemakaman Sentiong di Desa Pulosari tersebut menumbuhkan hubungan yang sangat harmonis.

"Jelas saling menguntungkan, gini kalau ada warga kami yang meninggal itu parkir di jaga sama warga setempat. Tukang gali juga kadang pakai tenaga warga, terus tanah yang gak kepakai juga dipersilahkan untuk digarap warga agar ada pemasukan," tuturnya.

Situasi berubah saat Kepala Desa Pulosari Jajang Daman diganti Didin Budiman.

"Dari era itu keluar aturan seperti itu, dilarangnya melakukan penggalian lahan baru untuk pemakaman. Semuanya dimulai sejak tahun 2014," bebernya.

Meski Kepala Desa di Desa Pulosari telah berganti, namun warga non-muslim yang kerap memakamkan keluarganya di pemakaman sentiong tersebut masih belum mendapatkan kejelasan.

"Kita punya sejumlah dokumen, mulai dari Berita Acara Pengukuran Tanah Sentiong, kemudian Surat Kuasa penyerahan pengelolaan Sentiong, juga peta lama yang waktu itu diberikan oleh kepala desa Jajang Daman. Peta lama itu, menunjukkan terdapat daerah permakaman untuk perkuburan Cina," tambahnya.

Belum lagi, kata dia, ada penggalan sejarah yang menyebut di Pangalengan terdapat sebuah pemakaman cina peninggalan Karel Albert Bosscha.

"Jadi Bosscha itu ketika tinggal di Malabar banyak disokong oleh orang-orang Tionghoa. Makanya dulu itu Bosscha memberikan dua hektar lahan untuk kuburan. Satu hektar untuk warga Tionghoa, satu hektar lagi untuk pemakaman muslim," ujar Yahya.

Tak hanya itu, pihaknya mengaku telah memohon bantuan pada Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman Dan Pertanahan (Disperkimtan) Kabupaten Bandung, namun bantuan tersebut tak kunjung datang.

"Sudah ada upaya, tapi katanya harus ada surat pengantar dari Desa, sedangkan pihak Desa sendiri sudah bersikap seperti itu, jadi bantuannya belum datang," terang dia.

Tanggapan Pihak Desa Pulosari

Sementara, Kepala Seksi Pemerintahan (Kasipem) Desa Pulosari Rukmana mengatakan, persoalan tersebut hanya menyoal tanah saja.

"Persoalan itu kayanya hanya soal tanah saja. Karena kalau saya coba nanya karena memang Kades yang sekarang baru, dan kemudian saya coba gali permasalahannya ternyata masalahnya di tanah," kata Rukmana.

Rukmana menegaskan, kejadian tersebut hanya menyoal tanah, ia menyebut tak ada isu SARA.

"Jadi, tidak ada kasus lain, tak ada yang namanya isu SARA di sini," ujarnya.

Rukmana menjelaskan, kepemimpinan Desa sebelumnya pernah mempertanyakan soal legalitas tanah Sentiong tersebut.

"Pihak Desa waktu itu mempertanyakan, apakah itu tanah Desa atau tanah Carik. Waktu itu dipertanyakan, apakah ada legalitasnya, kalau ada dari siapa," tambah dia.

Menurutnya, saat dilakukan mediasi di era Kades sebelumnya. Pihak Gereja tak mampu memperlihatkan legalitas terkait tanah tersebut.

"Sehingga dibuat satu kesepakatan, boleh lah disitu tapi jangan melebar. Kesepakatan itu terjadi di Kecamatan, dan katanya di sana ada arsipnya. Tapi itu musyawarah terjadi ketika di masa Kades sebelumnya, saya belum mengecek ke sana," beber Rukmana.

Sejak kesepakatan yang dibuat dengan Kades Didin, pihaknya menyebut belum ada konfirmasi lanjutan dari pihak Gereja.

"Hingga sekarang tidak ada lagi konfirmasi dari Gereja. Sejauh ini Pemerintah Desa masih melihat sisi kemanusiaan, tidak melihat bahwa di sana ada sengketa atau ada persoalan," tuturnya.

Kejadian penghadangan kemarin, kata Rukmana, pihak Desa lebih mengedepankan logika dan perasaan.

"Secara logika, warga juga mengelola tanah negara. Secara perasaan ini ada jenazah yang mau dikuburkan, jadi sudah mengedepankan aspek kemanusiaan, dan akhirnya diizinkan," ucap dia.

Rukmana menyebut, warga non-muslim yang dimakamkan di Sentiong tersebut bukan merupakan warga asli Desa Pulosari.

"Saya berprinsip kalau memang itu untuk warga Desa Pulosari kenapa tidak itu dibikin lokasi pemakaman, yang jadi persoalan yang dimakamkan terakhir itu kan bukan warga Pulosari, tapi sekali lagi karena udah dibawa ke sini ya Pak Kades lihat sisi kemanusiaan," tambahnya.

Hingga kini, pihaknya masih menunggu sikap dari pihak gereja terkait persoalan tersebut.

"Belum ada konfirmasi lanjutan dari Pihak Gereja terkait tanah itu, apakah pihak Gereja mau meminta atau gimana.  Saya menunggu dari pihak gereja maunya seperti apa, dan nanti pihak Desa akan melakukan apa," ungkapnya.

Rukmana berpendapat, baiknya tanah tersebut tetap dijadikan pemakaman untuk warga non-muslim, namun hanya diperuntukan untuk warga Desa Pulosari.

"Bagi umat agama apapun kalau dalam hal ini untuk pemakaman non-muslim silahkan, tapi dengan syarat harus warga Desa Pulosari, supaya tidak ada masalah," jelas dia.

Selain itu, ia mengklaim pihak Desa terus mencermati persoalan tersebut. Bahkan, saat ini pihaknya sedang memahami sejarah dari tanah tersebut.

"Saya juga belum tahu tentang sejarah Santiong itu, seolah-olah tanah itu menjadi hak milik, kalau pun betul itu bagaimana kan harus tahu. Tapi kalau memang ini masih tanah negara, kita ya sama-sama menggarapnya, tapi ada teritorialnya," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/08/09/052000378/cerita-warga-non-muslim-pangalengan-bertahun-tahun-kesulitan-makamkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke