Salin Artikel

Pakar Ekonomi Sebut Karakter Malioboro Yogyakarta Beda dengan Cihideung Tasikmalaya

TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Pengamat ekonomi Universitas Galuh Ciamis, Ferey Herman mengomentari rencana Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Tasikmalaya menata Jalan HZ Mustofa dan Jalan Cihideung menjadi "Malioboro) Tasikmalaya. 

Namun rencana itu ditolak warga. Rata-rata alasannya karena ekonomi. 

"Untuk mengetahui mengapa niatan baik Pemerintah Kota Tasikmalaya ditolak, yang perlu diketahui persamaan dan perbedaan Jalan Malioboro di Yogyakarta dengan Jalan Cihideung di Tasikmalaya," ujar Ferey kepada Kompas.com, Kamis (21/7/2022).

Ferey menjelaskan, toko-toko di Malioboro menawarkan berbagai souvenir dan camilan khas Yogyakarta.

Bukan hanya toko, PKL juga meramaikan Malioboro dengan dagangan sejenis yang harganya sangat murah.

Hal itu menjadikan Malioboro sebagai pusat wisata belanja.

"Bagaimana dengan Jalan Cihideung? Jalan Cihideung dikenal sebagai pusat niaga," beber dia.

Toko-toko sepanjang Jalan Cihideung menjual barang-barang besar seperti alat musik, alat olah raga, lemari, grosiran bahan pangan, toko mas, kain, dan berbagai kebutuhan lainnya.

"Jadi sekalipun menjadi pusat keramaian, tujuan orang datang kedua ke kawasan tersebut akan berbeda," tambah Ferey.

Kemudian, sejak awal Malioboro Yogyakarta adalah tempat orang berwisata, jalan santai, duduk-duduk, berlama-lama untuk berwisata.

Namun, pengunjung ke Jalan Cihideung, Kota Tasikmalaya, selama ini sebagian besar adalah pengusaha yang terburu-buru urusan jual beli.

"Mereka datang dari daerah sekitar Tasikmalaya untuk belanja barang dagangan, sehingga mereka tidak ingin berlama-lama. Semua harus serba cepat karena banyak yang harus dibeli dalam waktu terbatas."

"Keberadaan PKL yang menjual beragam pernak-pernik kebutuhan rumah tangga, menambah kemeriahan Jalan Cihideung, dan berdampingan dengan toko-toko selama ini," tambahnya.

Kondisi Malioboro Yogyakarta

Ferey menggambarkan kondisi PKL dan pemilik toko di Maliboro Yogyakarta yang kini direlokasi ke tempat baru. Omzet mereka menurun.

Mereka bahkan minta untuk dikembalikan ke tempat sebelumnya di pinggir jalan depan pertokoan.

Para wisatawan menyatakan hal yang sama. Mereka kehilangan Malioboro dengan hiruk pikuknya.

"Apakah Jalan Cihideung harus mengalami hal yang sama? Semoga Cihideung ditata sesuai dengan karakteristiknya, tidak kehilangan ciri khasnya karena penataan yang kurang tepat," tutur dia.

Apalagi data menunjukkan, kurang lebih 70 persen pusat bisnis, pusat perdagangan dan jasa, serta pusat industri di Priangan Timur dan Selatan berada di Kota Tasikmalaya.

Dalam hitungan yang lebih luas, kurang lebih 40 persen pusat perekonomian Jawa Barat ada di Kota Tasikmalaya. 

Namun angka ini berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan kota Tasikmalaya. Tingkat kemiskinan Kota Tasikmalaya tertinggi di Jawa Barat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pandemi Covid-19 yang terjadi antara 2019-2021 sangat berpengaruh terhadap peningkatan angka kemiskinan karena menurunkan tingkat produktivitas dan menambah munculnya orang miskin baru.

"Dalam situasi ekonomi seperti ini, perlu kiranya pemerintah mempertimbangkan data yang ada sebagai bahan kajian dalam menentukan prioritas kegiatannya," ungkapnya.

Bentuk pusat keramaian baru

Menurut Ferey, penataan Jalan HZ Mustofa dan Jalan Cihideung sebagai pusat bisnis Kota Tasikmalaya semata dengan alasan keindahan harus dipertimbangkan kembali.

Soalnya, rencana tersebut memiliki dampak menghambat pertumbuhan ekonomi. Justru seharusnya pemkot merangsang pusat ekonomi baru.

"Bagaimana dengan situasi jalan yang tampak semerawut dan mengurangi keindahan kota? Penataan memang perlu dilakukan, namun sebaiknya tidak dilakukan secara ekstrim. Trotoar yang rapi, drainase yang baik, lampu jalan yang estetik akan menambah keindahan Jalan Cihideung dan mendukung pemanfaatan Jalan Cihideung sebagai pusat kuliner malam baru," ujar dia.

Sebelumnya, warga Jalan Cihideung dan HZ Mustofa Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, menuntut pelaksanaan proyek pelebaran trotoar mirip Malioboro tak menutup akses kendaraan di pusat bisnis itu.

Selama ini mereka kaget karena proyek itu tak disosialisasikan terlebih dahulu oleh Dinas PUTR kepada warga yang mayoritas pedagang turun temurun tersebut.

Mereka protes pembangunan proyek itu seakan dipaksakan pemerintah daerah tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi bagi para pelaku usaha mulai PKL, toko sampai tukang parkir. 

https://regional.kompas.com/read/2022/07/22/125927578/pakar-ekonomi-sebut-karakter-malioboro-yogyakarta-beda-dengan-cihideung

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke