Salin Artikel

"Dinggung Rantau Pandan Bungo", Tradisi Memanen Madu di Jambi yang Nyaris Punah

Jumlah penutur asli tradisi Dinggung Rantau Pandan Bungo dapat dihitung jari. Kebanyakan penutur asli didominasi orang tua yang usianya sudah lebih dari 60 tahun.

"Sastra lisan dinggung berdasarkan kajian vitalitas, mengalami kemunduran," kata Ketua TIM Revitalisasi Sastra Kantor Bahasa Provinsi Jambi, Ristanto kepada Kompas.com, Senin (4/7/2022).

Untuk menjaga tradisi tersebut, Kantor Bahasa Provinsi Jambi melakukan kegiatan revitalisasi yang melibatkan 43 orang berusia 12-18 tahun dan lima orang guru master sastra lisan dinggung.

Sejak Februari 2022, para guru ini mengajari generasi-generasi muda tentang tradisi Dinggung.

Acara ini pun diakhiri dengan penyerahan penutur muda dinggung kepada Pemkab Bungo pada Sabtu (2/7/2022) di Rantau Pandan, saat pementasan maestro dan penutur muda.

Menurut Ristanto, kegiatan ini merupakan tindak lanjut penandatanganan Nota Kesepakatan antara Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Pemerintah Kabupaten Bungo.

Mengenal sastra lisan dinggung

Salah satu guru sastra lisan bernama Sobri mengatakan, dinggung merupakan warisan leluhur yang menunjukkan kearifan masa lalu dalam menjaga ekosistem. Misalnya, saat mengambil madu tidak harus menebang batang pohon sialang.

Dikutip dari laman resmi Taman Nasional Bukit Duabelas, pohon Sialang merupakan sebutan untuk berbagai jenis pohon yang menjadi “rumah” bagi lebah madu hutan bersarang.

Pohon Sialang biasanya adalah pohon yang dapat tumbuh sangat besar dan tingginya melebihi pepohonan lain di sekitarnya dengan bentuk fisik batangnya lurus meninggi.

Sobri menjelaskan, sebelum madu diambil dari pohon sialang, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan.

Mulai dari mempersiapkan perkakas, menentukan pemanjat batang sialang, mengajak bujang-gadis (pemuda) sebagai pengambil madu sialang rayo, hingga tuo gadih (mak gadis, ibu remaja putri) mengajak anaknya untuk mengambil madu sialang bersama-sama.

"Anak gadih berpamitan untuk mengambil madu. Setelah disetujui oleh tuo gadis maka sudah bisa berangkat," kata Sobri.

Sesampainya di pohong sialang yang sudah dipilih, pemanjat mulai mempersiapkan perkakas seperti membuat tunam untuk mengusir lebah di batang sialang.

Kemudian, pemanjat menyiapkan wadah madu, menyiapkan ambung sebagai perkakas untuk menyimpan barang-barang, membawa tikar, rantang, dan membersihkan area pohon.

Pemanjat juga mempersiapkan pasak, menyiapkan liyeh (tangga) untuk memanjat pohon.

Setelah itu, sang pawang yang merupakan tuo gadih bersama anak gadisnya bertugas mempersiapkan bekal kemudian membentang tikar dan membuat obor sebagai penerang.

Setelah pasak dipasang, tim pengambil madu ini kemudian berdoa bersama.

Setelah doa dilantunkan, salah seorang anggota pengambil madu akan memukul pohon sialang. Hal ini diyakini untuk memberi kabar kepada lebah sialang yang ada di atas pohon dan menanyakan kepada pohon apakah bisa dipanjat.

Komunikasi ini hanya dilakukan orang yang dianggap mumpuni atau "orang pintar".

Apabila pohon sialang itu siap dipanjat, pohon sialang itu akan mengeluarkan bunyi dentuman (berdengung). Namun ketika bunyi khas tidak terdengar, artinya pemanjat tidak diizinkan melakukan tugasnya.

Untuk memastikan ada suara dengung, maka pengambil madu sialang harus memukul batang sebanyak dua atau tiga kali.

"Kalau sudah berbunyi, berarti sudah bisa dipanjat atau diambil madunya," tambah Sobri.

Sebelum memanjat pemanjat pohon membaca doa sambil mengelilingi pohon sialang agar terhindar dari hal-hal yang tidak kita inginkan.

Setelah keliling sekitar tiga kali, barulah pemanjat mulai menaiki pohon dengan melantunkan pantun. Hal ini bertujuan untuk menyapa atau berpamitan terlebih dahulu. Setelah pamit, orang-orang yang menunggu di bawah pohon juga melantunkan pantun.

Saat memanjat, sang pawang (tuo gadih) mulai berdinggung dan bersaut berdinggung sampai pada dahan pertama, maka ada pantun lagi artinya hampir sampai pada manisnya atau madu. Kemudian dia akan mengabari yang berada di bawah pohon.

Kabar yang diberikan kepada orang yang di bawah pohon juga melalui pantun. Pantun itu berisi informasi terkait kondisi sarang lebah madu, apakah isinya sedikit atau banyak.

"Kalau isinnya banyak, maka kita kirim peralatan manen madu kepada yang manjat, yang ditaruh dalam wadah khusus dan ditarik pakai tali ke atas pohon," terang Sobri.

Madu dikumpulkan dalam wadah, tambah Sobri selanjutnya baru diturunkan secara perlahan ke bawah menggunakan tali.

Saat memanen madu sialang itu, masyarakat lokal meyakini ada penghuni seperti harimau atau mahluk halus.

Dengan demikian, sang pawang langsung berteriak meminta sang pemanjat melempar madu pertama yang dipanen untuk jatah harimau.

"Pemberian madu kepada datuk (harimau) agar prosesi panen madu, sama-sama dilindungi dan aman," kata Sobri menjelaskan.

Dengan berakhirnya pengambilan madu di atas pohon, maka sang pawang ditemani anak perempuannya mengisi rantang dengan madu untuk diserahkan kepada pemilik pohon sialang, pemanjat dan para bujang-gadis yang turut membantu prosesi pengambilan madu sialang.

"Dalam tradisi ini terkandung nilai gotong royong, kerjasama serta kepercayaan," kata Sobri.

https://regional.kompas.com/read/2022/07/04/173507678/dinggung-rantau-pandan-bungo-tradisi-memanen-madu-di-jambi-yang-nyaris

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke