Salin Artikel

Mengenal "Cacarakan", Huruf Sunda yang Sarat Makna...

BANDUNG, KOMPAS.com - "Ciri bangsa yang besar adalah bangsa yang merawat keragaman budayanya. Bangsa mana yang mempertahankannya maka itulah bangsa yang memiliki peradaban.."

Begitu kata Setiawan (40) atau akrab di sapa Kang Alo, seorang penyuluh terampil dari Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) yang saat ini giat mengajarkan kurikulum pendidikan bagi anak-anak penganut aliran kepercayaan, khususnya di AKP.

Pada anak didiknya, Kang Alo mengenalkan bagaimana keragaman budaya yang hidup rukun di satu bangsa, melalui pengajaran huruf Cacarakan.

Anak-anak, kata dia, mesti tahu bahwa kebudayaan Sunda memiliki catatan sendiri melalui huruf-huruf yang berkembang pada zamannya.

"Kita itu memperkenalkan bahwa setiap bangsa mempunyai budaya berbeda dengan kebudayaan lainnya, begitu juga dengan kebudayaan orang Sunda yang di antaranya mempunyai catatan tersendiri, jadi orang sunda juga punya huruf, setiap zamannya yang berbeda-beda," kata Alo ditemui Kompas.com, Kamis (2/6/2022).

"Tiap huruf kalau di tatar Sunda itu selalu mengandung arti, kenapa huruf itu dimuarai oleh Cacarakan dan ada Hanacaraka," katanya di temui Kompas.com, Kamis (2/6/2022).

Berlokasi di Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih, Ciparay, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kang Alo beserta penyuluh lainnya mengajarkan anak-anak tentang huruf Cacarakan setiap hari Minggu.

Kendati memperkenalkan sejak usia dini, namun ia tak pernah memaksa anak-anak untuk memperdalam terkait kandungan atau makna yang ada dalam huruf tersebut.

"Saya memperkenalkan terlebih dahulu ke anak-anak usia SD, SMP, dan diperdalamnya tergantung ke anak-anaknya. Kalau anaknya sudah tumbuh besar, biasanya bakatnya muncul dengan sendirinya dan biasanya dia ingin mengetahui lebih dalam," beber dia. 

Kang Alo menjelaskan, para sesepuh (orang yang dituakan) menilai huruf Cacarakan dipercaya mampu membaca suatu keadaan serta membaca karakter orang.

Huruf Cacarakan juga berkaitan dengan Candra Sangkala (Perhitungan Tatanan Tahun) menurut kebudayaan sunda.

"Para sesepuh di lingkungan organisasi kami, huruf Cacarakan berkait dengan Candra Sangkala (perhitungan tatanan tahun) malahan jika dipadukan bisa membaca karakter orang, membaca keadaan," ujarnya.

Meski belum memperdalam lebih jauh huruf Cacarakan. Kang Alo mengaku generasi setelahnya harus dikenalkan dengan huruf tersebut, agar tidak lupa akan identitasnya sendiri.

"Saya juga belum memperdalam sampai ke sana, tapi saya pikir generasi setelah saya harus tahu. Jadi anak-anak dikenalkan, dari mana memulainya, dan ternyata kami harus memulai dari huruf dulu," jelasnya.

Perkenalan huruf Cacarakan di lingkungan penganut AKP bukan pertama kali. Ia menyebut, hampir semua anak-anak, termasuk Kang Alo dikenalkan huruf tersebut sejak masih kecil.

Pasalnya, huruf tersebut, tidak mungkin diajarkan di sekolah formal, layaknya pelajaran umum.

"Ya pasti, seperti saya juga waktu masih kecil, belajar. Terus kalau Cacarakan, karena tidak di ajarkan di sekolah formal, seperti IPA-IPS, jadi mempelajarinya hanya di lingkungan di daerah kami sendiri," tutur dia.

"Nah, kemarin itu saya coba menghapal lagi dan mengingat apa yang sudah diajarkan terkait huruf itu dan akhirnya kami kenalkan lagi ke anak-anak. Semacam keberlanjutan dan keberlangsungan," tuturnya.

Saat kecil, Ia diajarkan langsung oleh Pamannya yang dirasa memiliki kemampuan lebih terkait huruf Cacarakan.

Kang Alo menyebut, kala itu, ia diajarkan bagaimana memahami Rarangken (sebuah sistem yang di dalamnya terdapat aturan-aturan pembunyian atau vokalisasi Aksara Sunda).

"Dalam huruf Cacarakan ada istilah rarangken, kalau huruf besarnya ada Ha Na Ca Ra Ka, tapi ketika dibahasakan ada perubahan seperti kata Hirup ada Hi. Jadi dipelajari dari huruf Ha menjadi Hi itu ada rarangkennya. Ada tanda yang digunakan seperti penanda, maka akan berubah, begitu pula huruf-huruf yang lainnya," ujar dia.

Proses Mendapatkan Sertifikasi Penyuluh

Saat ini, kata Kang Alo, penyuluh di AKP baru ada lima orang. Kang Alo menceritakan bagaiman lika-liku mendapatkan pengakuan sebagai tenaga pengajar aliran kepercayaan.

"Penyuluh untuk kegiatan kemarin, ada lima orang, kebetulan semuanya hadir di wilayah Bandung," kata dia.

Demi menjadi seorang penyuluh terampil, ia dan anggota AKP lainnya mesti melalui jalan yang panjang.

Mulanya, kata dia, setiap organisasi kepercayaan mesti mendaftarkan calon penyuluh ke Direktorat Pendidikan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Kang Alo merupakan calon penyuluh pertama di wilayah Kecamatan Ciparay. Setelahnya, baru anggota AKP yang lain menyusul.

"Kemudian sama Direktorat diverifikasi seperti ijazahnya apa, terus peserta didiknya punya berapa, dan lain sebagainya," jelas dia.

Ia menjelaskan, anak didiknya tidak hanya diajarkan soal kurikulum aliran kepercayaan saja.

Namun juga, diberikan pelajaran tentang pendidikan formal layaknya pelajaran umum di sekolah.

"Selain di aliran kepercayaan saya juga ikut mengajar yang bukan penghayat. Karena pelajaran yang di laksanakan itu bukan hanya kegiatan belajar tentang pendidikan kepercayaan saja tapi juga pendidikan umum kaya sekolah," ungkapnya.

Tak hanya itu, ada beberapa anak yang bukan dari AKP (pemeluk agama lain) yang ikut mempelajari tentang kurikulum aliran kepercayaan, seperti memahami tentang huruf Cacarakan.

"Terbuka, ada juga. Karena di kami juga ada yang Ayahnya penganut Kepercayaan dan Ibu Muslim, nah anaknya ikut juga ke sini," beber dia.

Kendati tak memiliki gelar sarjana pendidikan, ia tetap optimis mengajarkan anak-anak terutama penganut AKP tentang keragaman budaya.

"Saya juga bukan Sarjana Pendidikan, saya SPd otodidak, tapi saya sadar betul, tidak semua orangtua bisa memberikan kursus pada anaknya. Jadi kalau ada orangtua yang percaya, ya kita terbuka, karena pada dasarnya kita belajar bareng," kata Kang Alo

Lebih lanjut, ia menyampaikan inti dari proses pengajaran tersebut yakni membentuk anak-anak yang memiliki Budi Pekerti yang luhur.

Hal itu juga yang membuat adanya orang tua anak yang menitipkan anaknya meski bukan penganut AKP.

"Ya, dan kami lebih menerapkan Budi Pekerti sih. Makanya di sini mah yang lain bisa masuk karena mengajarkan budi pekerti," tambahnya.

Pembelajaran Saat Covid-19

Setelah Pandemi Covid-19 usai, baru kali ini penganut AKP bisa mengajarkan secara tatap muka.

Kang Alo mengatakan pembelajaran tatap muka sempat dilakukan juga saat awal-awal Pandemi datang.

Pasalnya, selain saat itu kasus penularan di wilayah Ciparay tidak begitu signifikan. Para orangtua dan anak-anak penganut AKP pun masih awam terkait teknologi.

"Memang kita sadari ada aturan dari Pemerintah terkait sistem pembelajaran, katakanlah daring. Tapi itu belum mutlak karena di lihat dari situasi wilayahnya," ujarnya.

"Karena di Ciparay itu Covid-nya gak terlalu parah, jadi satu tahun pertama tetap melakukan pembelajaran tatap muka. Ya kalau laporan harus daring, tapi anak-anak tidak semua menguasai teknologi. Jadi sebisa-bisa mungkin tetap belajar dengan penuh hati-hati," sambungnya.

Ketika varian baru dari Covid-19 datang, sistem jaga jarak baru diterapkan saat proses pendidikan berlangsung.

"Tapi pasti masuk varian baru ternyata ke Ciparay juga ada, nah disitu kami memberlakukan aturan paling tidak menjaga jarak," tuturnya.

Saat ini, anak-anak yang ikut pembelajaran di wilayah Ciparay berjumlah 11 orang. Jumlah tersebut belum tergabung dengan anak-anak di wilayah lain seperti Cimahi, Cimenyan, Cibaduyut, dan Rancaekek.

"Sebetulnya banyak, tapi kan ada juga yang anaknya mau orang tuanya gak mau. Tapi itu mah berproses, jangan sampai ada unsur pemaksaan. Khusus anak usia Paud dan TK itu belum kami ajarkan," ujarnya.

Selain mengajarkan tentang kurikulum aliran kepercayaan. Ia menyebut, program ini adalah salah satu upaya untuk membangun mental anak penganut aliran kepercayaan.

Kang Alo mengungkapkan, anak-anak  penganut aliran kepercayaan mesti yakin dengan dirinya dan tidak harus minder dengan apa yang ia yakini.

"Karena penghayat itu di sekolah cuma 1 banding berapa. Nah, seperti anak saya kan gak di kerudung sedangkan yang lainnya di kerudung, nah gak semua anak-anak lihat dunia kaya gitu teh happy. Makanya kami coba pertemukan dengan yang lain, agar tidak minder, bahwa kamu gak sendirian," kata dia.

Kedepannya, Kang Alo dan para penyuluh lainya sedang mempersiapkan program agar anak-anak mencintai lingkungannya.

Ia berencana membangun sebuah alat pengurai sampah, dan mengenalkan anak-anak bagaimana mencintai lingkungan dengan sesuatu yang nyata.

Pasalnya, selama ini, kebiasaan yang tumbuh di masyarakat terkait sampah hanyalah rutinitas yang tidak konkrit. 

"Beberapa waktu ke depan saya terpikirkan untuk mengenalkan proses mencintai lingkungan hidup secara langsung ke anak-anak, real-nya bersih-bersih sampah." tuturnya.

Sebab biasanya cuma mengumpulkan sampah kemudian diangkut truk.

"Nah saya terpikirkan untuk membuat pembakaran sampah atau pemusnah sampah, kan kalau di orangtua kami ada yang di sebut Ngertakeun Bumi Lamba atau mencintai alam, harus saling merawat. Kita akan buat anak anak mencintai sekitarnya mulai dari membersihkan selokan, kampung halaman, mudah-mudahan dalam waktu dekat," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/06/02/224156378/mengenal-cacarakan-huruf-sunda-yang-sarat-makna

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke