Salin Artikel

Mengenal Suku Kamoro di Mimika, Menghargai Alam hingga Tak Banyak Bicara

Kabupaten ini akan menjadi ibu kota dari calon provinisi baru Papua Tengah.

Suku Kamoro tersebar wilayah pesisir pantai, mulai dari Timika bagian timur hingga Timika bagian barat.

Salah satu tokoh masyarakat Kamoro, Dominggus Kapiyau menceritakan mengenai keberadaan suku asli di Mimika tersebut.

Sebelum menjadi Kabupaten Mimika, Suku Kamoro disebut dalam bahasa asli Merauke, Anim Kamoro.

Awal mula disebut Kamoro

Dominggus menjelaskan, kata Kamoro ini mulai muncul ketika seorang pastor bernama Peter Drabe dari Belanda melihat ada sesuatu yang menyita perhatiannya di malam hari.

Pastor Peter bertanya menggunakan bahasa daerah kare we kare (kamu siapa)? Lalu mereka menjawab ndare Kamoro (kami Kamoro).

Pastor Peter kemudian membalasnya dengan mengatakan 'kare mbii (kamu setan) kamu sudah meninggal'. Lama-lama mereka semakin dekat.

Pastor Peter terus bertanya hingga dia bisa memegang tangan salah satu dari mereka. Dia pun mengatakan, kare (kamu) Kamoro.

“Ketika Pastor Peter memegang tangan ternyata daging, maka mereka masih hidup. Sehingga Kamoro berarti manusia yang hidup,” jelasnya kepada Kompas.com.

Kamoro, menurut Dominggus, merupakan manusia yang hidup, akan menghargai dan menghormati orang lain lebih dari pada dirinya sendiri.

“Kamoro adalah suku yang berdiam di Kabupaten Mimika dan pengertiannya seperti begitu,” ungkap Dominggus.

“Dalam penggunaan bahasa Suku Kamoro, yaitu menerangkan dan diterangkan. Artinya terbalik, seperti misalnya dalam bahasa Kamoro mengatakan kamoro tame, di mana kamoro (suku) dan tame (rumah) bukan tame Kamoro,” ungkapnya.

Ketua Pemuda Adat Suku Kamoro, Leonardus Tumuka mengatakan, masyarakat Suku Kamoro tidak terlepas dari kehidupannya dengan alam dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari.

Leonardus menjelaskan, masyarakat Suku Kamoro selalu berkaitan erat dengan sagu, sungai, sampan (perahu).

Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat Suku Kamoro. Mereka memiliki dusun sagu yang ada di setiap kampung-kampung, sehingga bagi mereka sagu adalah makanan yang selalu melekat dalam kehidupannya masyarakat.

Masyarakat Suku Kamoro juga biasa mencari ikan, karaka dan siput di sungai. Mereka mencari menggunakan sampan atau perahu.

“Sampan atau perahu adalah salah satu alat transportasi yang digunakan masyarakat Suku Kamoro untuk mencari ikan, siput dan karaka di sungai. Tak hanya itu, sebagai tempat untuk menyimpan makanan. Perahu sebagai alat transportasi yang digunakan masyarakat Suku Kamoro sehari-hari,” jelasnya.

Taparo

Antropolog Universitas Cenderawasih, Henro Likitoo mengungkapkan, basis sosial masyarakat Suku Kamoro ada di taparo atau hak ulayat dan dusunnya masing-masing.

Taparo merupakan tempat bagi masyarakat Suku Kamoro untuk membangun kehidupannya, mulai dari mencari makan, seperti mencari sagu, ikan, siput, karaka, dan lain sebagainya.

Lokasi ini menjadi tempat bagi masyarakat Kamoro untuk melangsungkan kehidupannya sehari-hari.

Tak heran, hal ini menjadi sebuah budaya yang membuat masyarakat Kamoro jarang berada di kampungnya masing-masing atau disebut sebagai budaya Kapiri.

Artinya dalam budaya ini, masyarakat Kamoro akan membawa anggota keluarganya, seperti suami, istri, anak-anak untuk pergi dengan waktu yang lama ke pinggir sungai sembari membuat tempat tinggal sementara untuk hidup di daerah tersebut.

“Masyarakat Kamoro akan hidup dengan membangun rumah sementara, tidur di situ, cari ikan, tokok sagu untuk makan dan mereka akan kembali untuk membawanya dan menjual di pasar,” jelasnya.


Meramu di wilayah hak ulayat

Masyarakat Kamoro sejak nenek moyang hingga saat ini memiliki budaya meramu.

Hampir di wilayah pesisir selatan Papua, masyarakatnya dikenal dengan kehidupan dan budaya meramu untuk menyambung hidup sehari-hari.

“Masyarakat Kamoro hidupnya adalah mencari sagu, mencari ikan dan mencari binatang serta meramu apa yang ada di sekitar wilayah adatnya masing-masing,” katanya.

Masyarakat Kamoro tidak sembarangan meramu di wilayah yang bukan hak ulatnya.

Mereka meramu hanya di sekitar wilayah kekuasaan atau yang menjadi haknya masing-masing sesuai dengan pembagian marga yang ada di Kamoro.

“Masyarakat Kamoro tidak sembarang meramu, mereka meramu di lokasi yang menjadi hak ulayatnya. Jika melewati hak ulayatnya klien atau marga yang lain, maka bisa ditegur, bahkan menimbulkan masalah baru,” ucap Likitoo.

Menurut Likitoo, di Papua ada bermacam-macam suku, tetapi di dalamnya terdapat bermacam-macam klien atau marga yang mengendalikan dusun-dusunnya masing-masing.

Begitu pun dengan Suku Kamoro.

“Setiap klien atau marga memiliki batas wilayah adatnya masing-masing-masing, sehingga mereka akan mencari di hak ulayatnya sesuai dengan batas-batas klien atau marga yang ada di Kamoro,” tuturnya.

Likitoo menyatakan, hak ulayat di masing-masing klien atau marga bisa berhektar-hektar, sehingga mereka secara leluasa membangun kehidupannya.

“Masyarakat Kamoro di kampung-kampung masih mempraktikkan budaya dan kebiasaan-kebiasaan dalam meramu,” katanya.

Menurut Leonardus, berubah dan tidaknya kehidupan masyarakat Kamoro sebenarnya tergantung dari sisi pendapatan secara ekonomi.

“Sementara masyarakat kita yang notabene masih tingkat pendidikannya kurang atau memilih untuk ada di kampung, maka kebiasaannya masih tetap meramu seperti itu,” tuturnya.

Masyarakat Kamoro memiliki budaya ukir yang hingga kini masih terus dilestarikan kepada para generasi mereka.

Di kampung-kampung, budaya ukir masih dipertahankan.

Ketrampilan mengukir telah dilakukan oleh masyarakat Kamoro secara turun temurun.

Mereka pandai membuat ukiran di pohon, mulai dari ukiran berbentuk manusia, perahu, ikan dan ukiran-ukiran yang melambangkan kehidupan masyarakat Kamoro sehari-hari.

Patung Mbitoro merupakan salah satu ukiran khas masyarakat Kamoro. Patung ini di ukir oleh masyarakat dan menjadi keunikan serta simbol tersendiri bagi masyarakat Kamoro.

Patung Mbitoro ini dijadikan simbol di kantor pemerintahan, gereja dan tempat-tempat lainnya yang ada di Kabupaten Mimika.

Apalagi saat ini, kata Likitoo, ukiran yang dihasilkan oleh masyarakat Kamoro sudah menjadi salah satu nilai ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari.

“Budaya ukir di kayu hingga kini masih dilestarikan. Bahkan, dengan mengukir dapat mereka dapat menghidupi kehidupannya sehari-hari secara ekonomi di dalam keluarga,” katanya.

Leonardus mengatakan, ada jenis tarian yang dimainkan hampir setiap klien atau marga di masing-masing kampung.

Namun, ada juga tarian-tarian tradisi dalam pesta-pesta adat yang tidak bisa dimainkan oleh klien atau marga lainnya.

“Ada tarian-tarian adat yang dimiliki oleh klien atau marga tertentu di setiap kampung yang tidak bisa dimainkan oleh marga atau klien lainnya,” katanya.

Sementara itu, Dominggus menambahkan, ada bermacam-macam tarian yang dimiliki oleh masyarakat Kamoro. Salah satunya Yari Ipuya. Tarian ini biasanya dimainkan untuk penjemputan tamu-tamu kehormatan atau tamu kenegaraan.

Dominggus menyampaikan, Tari Ipuya biasanya dimainkan oleh masyarakat Kamoro untuk menjemput para pejabat, seperti bupati atau para pemimpin daerah lainnya yang datang dari dalam maupun luar Papua ke Mimika.

“Tari Ipuya ini merupakan tarian penjemputan. Tarian ini waktu itu kita mainkan saat menjemput para tamu saat penggelaran PON XX Papua di Kabupaten Mimika,” ungkapnya.

Menurut Dominggus, mereka juga memiliki pakaian adat yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.

“Pakaian adat perempuan disebut Tauri dan Paiti Taa, sedangkan untuk laki-laki disebut Tapena atau Kain Cawat Merah, Atayii atau Bulu Kasuari, Yaomoko, Buluh Burung Cenderawasih, Mbakare, Geing Tangan, Mbakare Mbau Taa atau Punya Laki,” tuturnya.


Lebih banyak mendengar

Leonardus mengatakan, Suku Kamoro merupakan salah satu suku di Papua yang terbuka dan suka membangun persahabatan dengan suku-suku lainnya yang ada di sekitarnya.

Kamoro adalah salah satu suku yang mudah beradaptasi dengan suku-suku lain.

“Suku Kamoro ini adalah suku yang terbuka, suka membangun pergaulan dengan suku-suku lain yang ada di sekitarnya,” katanya.

Meski demikian, kata Leonardus Suku Kamoro memiliki karakteristik tidak banyak bicara, tetapi lebih banyak mendengar.

Leonardus mengakui, untuk saat ini memang ada perubahan yang terjadi terhadap cara berinteraksi atau berkomunikasi yang dilakukan masyarakat Kamoro dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini tidak terlepas dari banyak hal yang menjadi penyebabnya.

“Salah satunya keberpihakan politik dan lain-lain yang cenderung membatasi kemajuan Suku Kamoro,” ungkapnya.

“Namun, jika ada suku yang tidak bisa membantu, maka mereka tidak akan respek terhadap suku tersebut,” tambah dia.

Masyarakat Kamoro memiliki peluang yang sangat besar, apalagi merupakan bagian dari suku asli yang mendapatkan perhatian dari PT. Freeport Indonesia dan perusahaan-perusahaan lainnya di Kabupaten Mimika.

Leonardus menjelaskan, masyarakat Kamoro lebih cenderung hidup di alamnya masing-masing. Mereka lebih cenderung pulang dan tidak betah bekerja di perusahaan lantaran mereka lebih senang berkumpul dengan keluarganya.

“Masyarakat Kamoro lebih cenderung hidup bergantung kepada kebudayaannya sehari-hari seperti kumpul bersama keluarga dan tidak betah bekerja di perusahaan. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat Kamoro masih kuat sekali dan mempengaruhi ruang gerak kehidupannya,” ujarnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/04/14/114235478/mengenal-suku-kamoro-di-mimika-menghargai-alam-hingga-tak-banyak-bicara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke