Salin Artikel

"Jalan Enggak Ada, Listrik Enggak Ada, Kami Masih Dijajah, Belum Merdeka"

SAMARINDA, KOMPAS.com – Peringkatan Hari Kemerdekaan ke-76 Indonesia pada Selasa (17/8/2021), masih menyisakan 222 desa di pedalaman Kalimantan Timur (Kaltim) belum mengakses listrik negara.

Hari-hari mereka tidak segemerlap warna warni malam di kota-kota lain di Indonesia.

Anak-anak di kampung-kampung tanpa listrik ini, lebih banyak menyita waktu siang untuk belajar daripada bermain. Sebab, begitu malam tiba, mereka tak punya waktu belajar karena gelap.

Kepala Desa Tunjungan, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Samsudin mengatakan kondisi itu yang dialami oleh para para siswa SD di desa yang ia pimpin.

Sejak berdiri 1990-an Desa Tunjungan tak teraliri perusahaan listrik negara (PLN). Warga mampu menggunakan genset ukuran kecil, jika tidak mampu hanya menggunakan aki, disambungkan kabel ke bola lampu kecil untuk penerangan malam.

“Sekarang hampir 80 persen warga pakai aki. Karena genset boros BBM. Genset mulai jam 6-9 malam sudah 1,5 liter habis. Warga enggak mampu,” ungkap dia saat dihubungi Kompas.com, Selasa (17/8/2021).

Untuk mendapat BBM jenis premium pun sulit. Warga harus bersusah payah mengambilnya di ibu kota Kecamatan Muara Kaman yang hanya ditempuh menggunakan jalur sungai.

Tak ada akses darat keluar masuk desa ini. Warga biasa menggunakan perahu kecil melintasi Sungai Kedang Rantau menuju Muara Kaman dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam.

“Harganya (BBM jenis premium) di atas Rp 10.000. Cuma akses jauh ini yang menyulitkan,” terang dia.

Sebelumnya, kata Syamsudin pernah ada genset desa, tapi sebagian besar warga tidak sanggup membayar iuran karena harga solar mahal. Karena itu, operasi genset desa dihentikan. Warga mulai menggunakan aki.

Bukan hanya listrik. Sulitnya akses keluar masuk hanya jalur sungai ini berdampak ke banyak siswa putus sekolah setelah tamat SD.

“Karena enggak ada SMP dan SMA di sekitar desa kami. Jadi rata-rata anak begitu tamat SD harus melanjutkan Pendidikan ke Muara Kaman pakai cas (perahu kecil) 1,5 jam. Karena biaya, akses jauh, bikin banyak putus sekolah,” beber dia.

Desa terdekat yang berbatasan dengan Desa Tunjungan adalah Desa Sambingtulung. Jaraknya sekitar lima kilometer.

Sebelumnya, kata Samsudin, pernah dibuka jalur akses darat dari Desa Sambingtulung menuju Desa Tunjungan.

Tapi, hanya urugan sehingga sulit dilintasi. 

“Kadang warga yang punya motor simpannya di Desa Sabingtulung, baru pakai perahu ke Desa Tunjungan,” kata dia.

Karena kondisi itu, Syamsudin menilainya desanya sangat tertinggal sehingga butuh perhatian pemerintah. 

Bahkan, anak-anak di desanya tak pernah nonton televisi sebagaimana anak-anak di kota-kota lain.

Tapi untuk jaringan internet masih bisa diakses meski tidak stabil.

“Bagaimana mau nonton TV. Kita hanya pakai bola lampu kecil-kecil disambungkan dari aki. Kalau aki habis, lampu mati. Anak-anak memang sulit belajar malam, itu belum lagi akses keluar masuk yang sulit,” pungkas dia. 

Tak hanya desanya, desa tetangganya, yakni Desa Liang Buaya, Desa Sedulang, kata Samsudin juga tak ada PLN.


Merasa masih dijajah

Syamsudin menyebutkan sebanyak 330 kepala keluarga (KK) yang ada di Desa Tunjungan merasa belum merdeka meski Indonesia sudah berusia 76 tahun.

“Kami harap hanya dua saja. Listrik dan akses jalan darat. Kami enggak perlu lain-lain. Karena dengan dua hal ini ekonomi masyarakat bisa naik,” kata dia.

Sebab, selama dua hal itu belum terpenuhi, kata dia, mereka merasa masih terjajah.

“Kalau dari sisi penjajahan fisik memang sudah tidak ada. Tapi kalau kami ini, jalan enggak ada, listrik enggak ada, kami rasa masih dijajah dengan keterbelakangan. Kami Desa Tunjungan belum merdeka,” keluh Syamsudin.

Tak hanya Syamsudin, Kepala Desa Muara Beloan, Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat, Rudi Hartono juga mengungkapkan hal sama.

Rudi mengatakan saat ini warganya yang berjumlah 757 jiwa dari 208 kepala keluarga belum menikmati listrik negara.

Warganya kini menggunakan genset. Namun, biaya BBM mahal selalu di atas Rp 10.000 cukup menyulitkan warga. Akibatnya, sebagian warga masih menggunakan pelita.

“Di sini warga 95 persen ini nelayan sungai. Sementara sekarang ini penghasilan nelayan banyak merosot karena, orang luar tangkap ikan pakai seterum,” ungkap dia saat dihubungi Kompas.com.

“Jangankan untuk listrik, untuk hidup aja sudah sulit,” sambungnya.

Ia meminta penegak hukum segera berantas ilegal fishing di sekitar desa mereka agar bisa membantu biaya genset.

Selain hidup tanpa listrik negara, warga di desa mengaku sulit akses jalan menuju ibu kota Kabupaten Sendawar untuk jual hasil tangkapan.

“Jalan rusak. Desa kami jarak ke kota kabupaten sekitar 30 kilo. Kalau ke desa terdekat yang ada PLN sekitar 16 kilo. Tapi enggak tahu kenapa desa kami enggak masuk listrik, jalan rusak, desa kami terisolir,” jelas dia.

Rudi mengatakan meski Indonesia sudah usia 76 tahun, tapi ia merasa desanya belum merdeka.

“Padahal kita dekat dengan Ibu kota kabupaten yang punya anggaran (APBD) triliunan. Kenapa kok hanya desa kami yang kecil ini tidak bisa jadi perhatian. Dan ingat desa kami bukan tempat yang terasing. Intinya kami tolong diperhatikanlah. Karena kami manusia, harus dihargai,” tegas dia.

“Kedua KTP kami adalah KTP Indonesia tentunya yang punya kebijakan Indonesia ini harus betul-betul perhatikan kampung-kampung di era kemerdekaan. Sudah hampir satu abad Indonesia merdeka kok masih begini-begini aja,” sambung dia.

222 desa di Kaltim belum teraliri listrik 

Kepala Bidang Ketenagalistrikan Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Sony Masyhur mengatakan sebanyak 222 desa dari 1.038 desa di Kaltim belum teraliri listrik negara.

Jumlah desa itu tersebar hampir semua di kabupaten kota di Kaltim.

“Tapi terbanyak di Kabupaten Kutai Barat dan Mahakam Ulu,” kata dia.

Dari jumlah itu, kata Sony, kesiapan anggaran daerah hanya bisa mengcover enam desa per tahunnya.

Sehingga pihaknya harus berkoordinasi dengan PLN untuk membantu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan mempercepat perluasan jaringan.

“PLN tahun ini bantu 52 lokasi. Cuma problemnya akses jalan susah, jadi saat mau bangun itu masih sulit,” terang dia.

Nantinya, daerah yang sulit akses jaringan listrik akan dibantu dengan PLTS sambil mempersiapkan perluasan jaringan listriknya.

Sony menuturkan Pemprov Kaltim dan PLN terus berkoordinasi untuk menggenjot perluasan ke daerah yang belum teraliri.

“Kalau rencana nasional kan tahun depan sudah terlistrik semua. Tapi menurut saya agak susah. Kita 222 desa itu banyak dan lokasi terpencil. Ya kemungkinan 2024 baru mendekati semuanya lah,” jelas dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/19/060500778/-jalan-enggak-ada-listrik-enggak-ada-kami-masih-dijajah-belum-merdeka-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke