Salin Artikel

Kisah Sekolah bagi Kakek dan Nenek di Jember, Ajarkan Literasi Digital untuk Mengasuh Cucu

Sekolah Eyang dan Sekolah Bok-ebok didirikan Komunitas Tanoker pada 2017. Awalnya, sekolah itu membantu para nenek, kakek, paman, dan bibi, yang mengasuh anak dari buruh migran yang bekerja di luar negeri.

Sebelum pandemi Covid-19 melanda, para kakek dan nenek kerap bertemu langsung untuk belajar bersama. Tak hanya tentang literasi digital, tetapi juga cara mengasuh anak di tengah kemajuan teknologi.

Mereka belajar mangakses internet hingga menggunakan media sosial WhatsApp, Facebook, Instagram, maupun YouTube.

Mereka belajar agar bisa mengasuh anak-anak dari pekerja migran sesuai dengan perkembangan zaman.

“Cucu-cucu kami ini generasi milenial, sedangkan kami generasi kuno,” kata Kepala Sekolah Eyang Juhariyah kepada Kompas.com via telepon, Rabu (18/8/2021).

Menurut dia, mereka yang tergabung dalam sekolah eyang sudah berumur 40 hingga 90 tahun ke atas.

Warga berusia 40 tahun dan memiliki cucu bisa menjadi murid di Sekolah Eyang. Biasanya, kegiatan sekolah bagi para kakek dan nenek diselenggarakandi Komunitas Tanoker.

Mereka saling belajar tentang literasi digital. Seperti cara mendapatkan informasi dari internet, media sosial, dan lainnya.

“Namun karena pandemi, sekarang diganti dengan kegiatan Zoom meeting,” tambah dia.

Menurut dia, tak semua murid di Sekolah Eyang memahami penggunaan gawai. Untuk itu, materi tentang penggunaan teknologi internet dimasukkan dalam kurikulum.

“Seperti cara menggunakan android, internet, mencegah berita hoaks dan lainnya,” ucap dia.

Mereka memiliki semangat yang sama belajar mengakses internet sehat agar tidak mudah tertipu dengan informasi hoaks.

“Kadang juga belajar pada cucu kami tentang penggunaan internet,” tutur dia.


Juhariyah mengajak para kakek dan nenek lainnya untuk belajar bersama membekali diri cara mengasuh anak dengan baik. Sebab, tantangan zaman sudah berkembang cepat. Terutama seiring dengan kemajuan teknologi.

“Belajar memahami internet hari ini sangat penting,” tambah dia.

Saat ini, kata dia, mayoritas anak-anak sudah menggunakan gawai. Jika tak ada yang memandu, anak-anak dikhawatirkan terjerumus pada konten negatif, seperti radikalisme, pornografi, hingga kekerasan seksual.

Sekarang sudah 43 murid terdaftar di Sekolah Eyang. Mereka menjalin komunikasi lewat grup WhatsApp. Mereka sudah tak terlalu canggung menggunakan gawai dan mengakses internet.

Kenalkan Dampak Internet Melalui Sekolah Bok-ebok

Selain Sekolah Eyang, Sekolah Bok-ebok juga hampir memiliki tujuan yang sama, mengajari para orangtua agar mengasuh anak dengan baik sesuai perkembangan zaman. Salah satunya dengan mengenalkan internet.

Banyak orangtua di pedesaan yang awam dengan internet. Padahal, anak-anak mereka dibekali dengan gawai. Mereka bisa mengakses apa saja dari internet.

“Orang tua mereka yang bekerja di luar negeri membelikan anaknya android,” kata Kepala Sekolah Bok-ebok Siti Latifah.

Bahkan, ada anak yang ditinggal ibunya sejak kelas II SD sampai sekarang. Anak tersebut sudah begitu mahir menggunakan gawai. Bila tak didampingi, berpotensi mengakses konten negatif dari internet.

“Awalnya susah mengajak mereka melek digital,” ujar dia.

Namun Latifah mengingatkan tentang pentingnya mengetahui cara menggunakan gawai dan internet. Selain untuk berkomunikasi, juga untuk memantau anak-anaknya.

“Saya sampaikan, kalau tidak bisa buka Facebook atau baca WhatsApp, tidak tau apa yang dilakukan anaknya di medsos,” terang dia.

Padahal, medsos bisa berpotensi menjebak anak-anak terhadap konten negatif. Seperti menjadi korban kekerasan seksual, radikalisme hingga penipuan. Ketika mendapat pemaparan itu, orangtua akhirnya memahami.


Mereka belajar secara gotong royong dang saling memberikan pemahaman tentang cara mengunakan internet dan medsos. Dampaknya, mereka semakin memahami tentang pentingnya memahami literasi digital untuk mengasuh anak.

Sementara itu, Pendiri Komunitas Tanoker yang menggagas Sekolah Eyang dan Sekolah Bok-ebok, Farha Ciciek menambahkan dua sekolah itu dibentuk karena keprihatinan terhadap masa depan anak-anak yang ditinggal ibunya menjadi TKW.

Ia menilai perlu ada pola kepengasuhan secara gotong royong untuk menyelamatkan masa depan anak-anak. Sekolah tersebut tak hanya untuk belajar literasi digital, namun juga tentang pangan sehat, budaya, pencegahan radikalisme, dan lainnya.

“Sempat ada anak yang diajak menjadi pengantin radikalisme,” tegas Ciciek.

Informasi itu diketahui oleh orangtua anak melalui pesan WhatsApp anaknya. Beruntung, orangtua langsung bisa menceganya.

Ia menilai peran orang tua dalam mendampingi anaknya agar tidak terjerumus pada kegiatan negatif sangat penting. Apalagi pada anak-anak yang kekurangan kasih sayang karena ditinggal orang tuanya, terutama dalam mengakses internet.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/18/133140778/kisah-sekolah-bagi-kakek-dan-nenek-di-jember-ajarkan-literasi-digital-untuk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke