Salin Artikel

Wajah Sekolah Reyot di Perbatasan RI-Timor Leste Berubah di Tangan Prajurit

Kepala SDN Manune itu langsung menghentikan proses kegiatan belajar mengajar yang dihadiri 12 murid kelas VI.

Frederikus bergegas meminta semua murid memindahkan kursi dan meja ke sudut ruangan kelas bagian belakang.

Baru dua meja dan kursi dipindahkan, hujan pun turun deras menembus atap sekolah hingga mendarat mulus di lantai sekolah yang masih beralaskan tanah.

Tak banyak yang bisa dilakukan Frederikus dan muridnya, selain pasrah dan mencari tempat perlindungan yang lebih aman, sembari menunggu hujan reda.

Percikan air hujan dari atap sekolah yang bocor membasahi pakaian mereka. Sorot mata Frederikus memandang tajam ke seisi ruangan, seolah-seolah ingin membingkai wajah para murid sehingga bisa terlindungi.

Setelah menunggu lebih dari setengah jam, hujan pun berangsur reda. Namun, di dalam ruang kelas penuh dengan genangan air, sehingga hari itu Frederikus terpaksa menghentikan kegiatan belajar mengajar.

Dia mengizinkan muridnya untuk kembali ke rumah masing-masing dan tak lupa memberi tugas untuk dikerjakan.

Kondisi ini sudah berlangsung lama sejak tahun 2016 lalu.

Sekolah tempat ia mengajar memiliki panjang tujuh meter dan lebar empat meter, dengan konstruksi bangunan darurat alias reyot. Atapnya terbuat dari daun lontar yang sebagian besar telah bolong.

Dinding berasal dari pelepah daun gewang yang dikeringkan kemudian disusun rapi. Tiang penyangganya juga berupa kayu jati, dicampur sebagian kayu johar yang sudah mulai rusak dimakan rayap.

Terdapat enam ruangan kelas dan satu ruang guru, hanya disekat dengan bilah bambu dan juga kayu sebagai pembatas.

Di beberapa sudut ruangan tampak dinding yang sudah keropos dan bolong hingga nyaris ambruk.

SDN Manune berada di Desa Motadik, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.

Sekolah reyot itu berjarak 90 kilometer arah timur laut dari Kota Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara. Waktu tempuh mencapai dua jam dengan perjalanan darat melintasi jalan negara yang menghubungkan Indonesia dan Timor Leste.

Kondisi jalan negara yang mulus, rupanya tak semulus wajah SDN Manune. Sekolah itu dibangun pada 2014 secara swadaya oleh orangtua murid dan masyarakat setempat.

Jumlah murid dari kelas I hingga kelas VI sebanyak 76 orang. Sedangkan guru termasuk kepala sekolah sebanyak enam orang.

Dari jumlah itu, dua guru aparatur sipil negara (ASN), tiga guru kontrak daerah, dan satu tenaga honorer komite sekolah.

"Inilah keadaan sekolah kami. Kalau musim hujan kami sangat susah untuk mengajar karena semua ruangan kelas penuh genangan air," ungkap Frederikus kepada Kompas.com, pertengahan Maret 2021.


Frederikus menyebut, sekolah mereka filial atau kelas jauh dari sekolah induk SDN Nonotbatan.

Karena jarak tempuh yang jauh yakni lima kilometer antara rumah para murid dengan SDN Nonotbatan, orangtua dan masyarakat setempat akhirnya sepakat membangun sekolah baru, meski dengan konstruksi darurat.

Bangunan sekolah reyot itu mulai rusak sejak 2018. Warga pun sempat memperbaiki, tetapi rusak lagi pada 2019 hingga saat ini.

Ketiadaan biaya, kata Frederikus, membuat dia dan murid-murid harus bertahan menimba ilmu di tempat yang mirip kandang ternak itu.

Bagi Frederikus, tujuan utamanya mengajar di SD Manune, selain sebagai bentuk pengabdian, juga ingin mencerdaskan anak-anak di pelosok negeri yang berbatasan dengan negara Timor Leste.

Penantian panjang selama tujuh tahun berbuah manis, menyusul kisah pilu keadaan sekolah itu diketahui oleh anggota Babinsa Desa.

Melalui program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-110, Kodim 1618 TTU akhirnya 'menyulap' sekolah itu menjadi bangunan permanen dengan dinding beton, lantai keramik, dan atap seng.

Tak tanggung-tanggung empat ruang kelas, satu ruang guru, dan tiga toilet pun dibangun.

Sekolah tersebut dibangun dalam tempo sebulan, yakni sejak Maret hingga selesai April 2021 bertepatan dengan penutupan TMMD.

Saking senangnya dengan program itu, para guru dan orangtua murid serta masyarakat setempat, terlibat aktif mulai dari bangun pondasi hingga atap, serta pemasangan keramik dan cat tembok sekolah.

Bukan hanya itu, TNI juga membangun jalan masuk ke sekolah itu sepanjang 376 meter.

"Ini kejutan sekaligus kado terindah bagi kami di tengah pandemi corona," kata Frederikus kepada Kompas.com, Jumat (2/4/2021).

"Kami sangat bangga luar biasa, karena untuk pertama kalinya kami mengalami pelayanan pemerintah melalui TMMD, sehingga sekolah kami bisa setara dengan sekolah yang lain," sambungnya.

Frederikus pun berharap, bangunan sekolah ini bisa dijaga dengan baik, sehingga bisa dinikmati oleh anak di Desa Motadik dan generasi yang akan datang.

"Sekali lagi terima kasih banyak kepada pihak TNI khususnya Kodim 1618 TTU, yang peduli dengan keadaan kami," kata Frederikus sedikit terharu.

Komandan Kodim 1618 TTU Letkol Arm Roni Junaidi mengatakan, ada tiga aspek yang mendorong pihaknya memilih SDN Manune sebagai sasaran utama program TMMD ke-110.

Ketiga aspek itu di antaranya aspiratif, strategis, dan prioritas.

Apalagi, kata Roni, lokasi SDN Manune ini berbatasan langsung dengan Distrik Oekusi, Timor Leste, sehingga gedungnya perlu dibangun permanen.

"Kondisi anak-anak di sini sangat memprihatinkan. Kami melihat SD ini dibangun dari tahun 2014 hingga saat ini belum memiliki fasilitas yang layak, sehingga itulah yang menjadi prioritas kami membangun gedung yang baik, termasuk jalan masuk ke sekolah," ujar Roni.

Roni menuturkan, kegiatan TMMD perlu dilaksanakan mengingat salah satu tugas Kodim adalah membantu Pemda dan masyarakat TTU dalam upaya percepatan pembangunan di daerah khususnya di perbatasan RI-Timor Leste.


Program TMMD ini, kata Roni, sebagai salah satu wujud operasi bakti TNI berkolaborasi dengan Pemda TTU untuk mewujudkan ketahanan wilayah yang tangguh.

"Serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa," kata Roni.

Bupati TTU David Juandi menuturkan, program TMMD ini tepat sasaran karena menyentuh langsung kebutuhan masyarakat di Desa Motadik.

David yakin, bangunan yang dikerjakan TNI memiliki mutu yang berkualitas tinggi dan cepat.

"Ini hasil yang memuaskan karena mengubah sekolah yang tadinya reyot menjadi permanen dengan mutu yang bagus," kata David.

Apalagi, kata David, bukan hanya sekolah saja, jalan menuju sekolah juga dibangun dengan bagus dan rapi.

Karena itu, Pemda TTU kata David, mengapresiasi program TMMD. Pihaknya akan selalu mendukung program ini terus berlanjut.

Ketua DPRD TTU Hendrik F Bana mengatakan, pihaknya siap berkerja sama dalam membangun daerah dengan berbagai gagasan di antaranya pelaksanaan program TMMD.

Karena, pembangunan daerah sangat diperlukan gagasan, ide, dan program dari berbagai lembaga pemerintah.

Hendrik pun menekankan pentingnya koordinasi dan sinergitas yang erat dan matang antara lembaga pemerintah.

"Khusus dalam program TMMD ini, saya sebagai Ketua DPRD Kabupaten TTU sangat mendukung dan menyambut baik program ini untuk kemajuan TTU," kata Hendrik.

Termasuk juga adanya dukungan anggaran dari DPRD dan Pemda TTU khusus bagi program TMMD selanjutnya.

"Politik anggaran pasti akan kami berikan dukungan yang penuh, karena ini fakta yang dikerjakan oleh TNI," ujar dia.

Kini, Frederikus dan muridnya tidak lagi basah saat musim hujan dan terjebak lumpur ketika ke sekolah, TMMD telah mewujudkan impian mereka yang bermukim di beranda Indonesia untuk mendapat akses pendidikan yang layak.

https://regional.kompas.com/read/2021/04/05/150451078/wajah-sekolah-reyot-di-perbatasan-ri-timor-leste-berubah-di-tangan-prajurit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke