Salin Artikel

Warga Satu Desa Ini Belum Terima Ganti Rugi Pembangunan Megaproyek Bendungan Rp 2 Triliun, Berharap Ditolong Jokowi

KUPANG, KOMPAS.com - Belasan warga Desa Kuaklalo, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tengah berkumpul di rumah seorang warga yang bersebelahan dengan kantor desa, Sabtu (13/3/2021) sore.

Udara sore itu terasa dingin, langit sedang mendung, tetapi semangat warga terlihat jelas, saat menceritakan lokasi mereka yang dijadikan pembangunan megaproyek Bendungan Manikin yang menelan anggaran Rp 2 triliun.

Mereka kemudian mengajak Kompas.com menuju ke rumah salah satu warga. Dari rumah yang berada di ketinggian, terlihat jelas lokasi bendungan.

Sejumlah alat berat dan truk sedang menggali dan mengangkut material tanah.

Warga senang dengan kehadiran bendungan di wilayah mereka, tetapi ada yang mengganjal batin mereka lantaran hingga saat ini mereka belum juga mendapat ganti rugi.

Tokoh Masyarakat Desa Kuaklalo, Agustinus Tabelak, mengungkapkan hal itu.

Menurut Agustinus, di wilayah Kuaklalo, lahan milik warga yang dijadikan proyek tersebut lebih dari 200 hektar.

"Sampai saat ini, kami masyarakat belum terima ganti rugi. Sesuai kesepakatan, apabila tanah milik masyarakat ini tidak diberikan ganti rugi, maka kami tidak akan lepas lahan untuk pekerjaan bendungan," tegas Agustinus.

Agustinus mengisahkan, awalnya masyarakat di wilayahnya tidak setuju dengan adanya pembangunan bendungan tersebut.

Namun, karena sejumlah instansi terkait datang berulang kali ke desanya, lalu menggelar pertemuan dengan iming-iming air melimpah, akhirnya semua masyarakat menyetujui.

"Awalnya kami tidak mau. Tapi, pemerintah ini datang bujuk kami dan pertemuan berulang kali, akhirnya kami setuju. Tapi, dengan syarat hak-hak tanah kami ini dipenuhi dan mereka harus ganti rugi," ujar dia.

Kalaupun bendungan ini jadi atau tidak dibangun, masyarakat telah memberikan informasi kepada pemerintah bahwa kondisi struktur tanah ini rawan longsor.

"Ada kondisi rentan longsor. Takutnya air dari bendungan ini merembes ke tanah permukiman warga dan bisa tenggelam," sambung Agustinus

Seiring berjalannya waktu, dan pembangunan Bendungan Manikin mulai dikerjakan pada 2019 melalui dua paket, ganti kerugian lahan tak kunjung diberikan.

Agustinus bersama sejumlah warga dan dibantu Kepala Desa Kuaklalo Yairus Mau pun melakukan penelusuran mengapa hingga saat ini ganti kerugian lahan yang menjadi hak warga tidak dibayarkan.


Dari penelusuran itu didapat kabar yang mengejutkan, bahwa Kementerian Lingkuhan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeklaim tanah warga tanpa diperkuat bukti hukum apa pun.

KLHK, kata Agustinus, mengeklaim secara sepihak lahan milik warga masuk dalam kawasan hutan, sehingga bisa dengan mudah dibebaskan untuk kepentingan proyek Bendungan Manikin.

"Pihak KLHK tidak punya bukti apa pun kalau ini adalah wilayah kawasan hutan. Mereka datang tanpa sosialisasi, langsung mencaplok kebun masyarakat masuk kawasan hutan. Padahal, ini tanah kami yang sudah kami garap turun temurun," ungkap dia.

Jika benar lahan tersebut masuk kawasan hutan, warga tentu tidak ada yang berani menggarapnya.

Sebaliknya, jika lahan tersebut milik KLHK, Agustinus justru mempertanyakan kepemilikan dan bukti sahnya secara hukum.

Sebab, selama ini tidak pernah ada patok, atau batas tanah milik KLHK yang dipasang agar warga tidak bisa menggarapnya.

"Yang aneh, semua kebun warga yang selama ini sudah digarap turun temurun, termasuk kuburan leluhur kami ini masuk dalam kawasan hutan," ujar Agustinus.

Dia pun menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan sengaja mengalihkan lahan milik warga menjadi kawasan hutan.

Padahal, awalnya pemerintah yang datang membujuk masyarakat agar bendungan itu bisa dibangun di wilayah mereka.

Setelah warga setuju bendungan itu dibangun, tiba-tiba KLHK muncul dan mengeklaim lahan tersebut masuk kawasan hutan.

"Mereka sengaja alihkan lahan ini menjadi kawasan hutan agar masyarakat tidak dapat biaya ganti rugi," imbuh dia.

Agustinus pun berharap, masalah ini bisa didengar oleh Presiden Jokowi agar bisa segera diselesaikan.

"Kami minta tolong Pak Jokowi bantu supaya hak masyarakat masyarakat tidak hilang. Kami sampai saat ini masih menunggu biaya ganti rugi," ujar dia.

Hal yang sama juga disampaikan Kepala Desa Kuaklalo Yairus Mau. Menurutnya, lahan masyarakat yang diklaim sepihak oleh KLHK masuk dalam kawasan hutan seluas 200 hektar, sedangkan yang harus diganti rugi sekitar 65 hektar.

Yairus menuturkan, pemerintah Desa Kuaklalo dan masyarakat mendukung sepenuhnya pembangunan bendungan ini.

Hal itu dibuktikan dengan dukungan warga terhadap survei tim Land Acquisition And Resettlemen Action Plan (LARAP) atau Rencana Kerja Pengadaan Tanah dan Pemukiman Kembali.

Selain itu, warga juga mendukung pertemuan-pertemuan bersama antara aparat desa, tokoh masyarakat dan tim LARAP, hingga menghasilkan kesepakatan bahwa Bendungan Manikin layak dibangun.

"Begitu kami tahu bahwa bendungan itu masuk kawasan hutan, maka kami aparat desa dan masyarakat kaget. Kenapa sekian lama tidak menyampaikan kepada kami. Begitu pembangunan bendungan ini berjalan baru ada informasi," ujar Yairus.

Dia menuturkan, sebelum tahun 1960, orangtua dan nenek moyang mereka tinggal di lokasi pembangunan bendungan yang saat ini diklaim masuk kawasan hutan.

Kemudian tahun 1967, karena ada aturan dari pemerintah yang mewajibkan masyarakat harus tinggal di pinggir jalan raya, maka semua masyarakat pun pindah.

Namun, lokasi lama masih dikelola masyarakat dan dijadikan sebagai kebun.

Banyak tanaman milik masyarakat yang masih ada hingga saat ini seperti kelapa, pisang, pinang dan ubi.

Dia berharap, pemerintah segera menuntaskan persoalan ini, dengan tidak menjadikan lahan milik warga sebagai kawasan hutan.

Persoalan tersebut telah disampaikan ke pemerintah kabupaten dan provinsi, tetapi sampai saat ini tidak ada solusinya.


KLHK juga hingga saat ini belum melakukan sosialisasi ke masyarakat, kalau lahan warga itu merupakan kawasan hutan.

Padahal, masyarakat membayar pajak atas kebun milik mereka yang masuk diklaim kawasan hutan setiap tahun.

"Permintaan kami kalau boleh Pak Jokowi bisa mempertimbangkan kawasan ini diputihkan menjadi tanah milik masyarakat, sehingga harus ada biaya ganti rugi," kata Yaiurus.

Dihubungi terpisah di ruang kerjanya, Selasa (16/3/2021), Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIV Moech Firman Fahada membantah bahwa pihaknya mengeklaim sepihak wilayah Desa Kuaklalo masuk kawasan hutan.

Menurut Firman, kawasan hutan di NTT termasuk Desa Kuaklalo sudah diregister sejak zaman Belanda, yakni tahun 1936 sampai tahun 1939.

Sebagian Desa Kuaklalo dan sejumlah desa tetangga lainnya yang akan dijadikan lokasi pembanguan Bendungan Manikin itu masuk kawasan Hutan Sisimenisanam.

Firman menuturkan, pada tahun 1979 sampai 1981, Gubernur NTT saat itu menunjuk tata batas kawasan hutan dan disahkan tahun 1982.

"Ketua panitia tata batas saat itu Bupati Kupang," kata Firman.

Kemudian, kata dia, pada tahun 1983 mulai diterbitkan tata guna hutan kesepakatan atau TGHT dan tidak ada perubahan.

Selanjutnya, tahun 2016 karena adanya rencana pembangunan bendungan, maka pemerintah daerah mengusulkan agar lokasi bendungan keluar dari kawasan hutan.

"Sehingga, keluarlah surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 357. Itulah yang akan kami pasangi tapal batasnya dan akan kami tata batasnya," kata dia.

Pihaknya sudah dua kali menggelar sosialisasi tentang hal itu pada Desember 2020 di kantor Kecamatan Taebenu dan Maret 2021 pekan lalu di Desa Bokong.

Dari sosialisasi itu, kata dia, hanya masyarakat Desa Tuaklalo yang menolak wilayah mereka dijadikan sebagai kawasan hutan.

Pihaknya segera berkoordinasi dengan Balai Wilayah Sungai NTT II untuk menggelar pertemuan lagi dengan warga Desa Kuaklalo.

Menurut Firman, pada dasarnya pihaknya tidak ada menyusahkan masyarakat dalam proses ini.

"Kami hanya mau jelaskan ke masyarakat kalau mau proses ganti rugi ini berlanjut, maka terima dulu penjelasan kami dengan menata batas tanah dengan jelas," kata dia.

Dia pun menawarkan solusi jangka pendek dan panjang sesuai keinginan masyarakat.

"Keinginan masyarakat untuk membebaskan seluruh wilayahnya dari kawasan hutan itu bisa ditempuh dengan mekanisme revisi tata ruang," kata dia.

Untuk solusi jangka panjang, kata dia, bisa direvisi kalau itu merupakan keinginan dan usulan masyarakat.

Ini tentu akan dipertimbangkan Menteri LHK dan tentu akan ada tim terpadu yang memproses usulan itu.

"Sedangkan untuk solusi jangka pendek ini kan ganti rugi. Maka kami perlu menata batasnya dulu. Kalau tidak, maka kantor pertanahan tidak akan menindaklanjuti proses untuk sertifikasi lahan dan ganti rugi," kata dia.

Dihubungi secara terpisah, PPK Pengadaan Tanah Balai Wilayah Sungai NTT II Benny Malelak enggan berkomentar soal itu.

Dia pun meminta Kompas.com untuk bersurat ke PPK Pengadaan Tanah Balai Wilayah Sungai NTT II untuk proses wawancara.

"Nanti buat permohonan tertulis kepada PPK Pengadaan Tanah BWS NT II karena saya hanya pelaksana," kata Benny singkat.

https://regional.kompas.com/read/2021/03/16/180308478/warga-satu-desa-ini-belum-terima-ganti-rugi-pembangunan-megaproyek

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke