Salin Artikel

Cerita Para Mantan Perambah Hutan Way Kambas, Tobat hingga Membangun Desa

Namun, seperti sudah terbiasa, pemuda tegap itu tak menghiraukan aroma tersebut.

Dengan sekop, Bambang mengumpulkan tumpukan kotoran sapi yang mulai mengering itu.

“Dapat dari warga sini, banyak yang pelihara sapi, kami beli dari mereka. Jadi bahan baku selalu tersedia,” kata Bambang saat ditemui, Sabtu (30/1/2021).

Bambang kini adalah pengusaha pupuk kompos yang memimpin Kelompok Karya Lestari Desa Labuhan Ratu VI, desa yang beririsan langsung dengan hutan Way Kambas.

Di masa remaja hingga usia 20 tahunan, Bambang adalah seorang perambah hutan Way Kambas.

“Dulu itu sering keluar masuk hutan. Ya, sembunyi-sembunyi masuknya, biar enggak ketemu patroli,” kata Bambang.

Bambang masuk hutan untuk mencari ikan yang sangat berlimpah di dalam kawasan hutan.

“Biasanya kita berangkat rombongan setiap hari Minggu atau waktu senggang. Paling sedikit 5 orang bersama teman-teman,” kata Bambang.

Masuk kawasan hutan secara ilegal membuat Bambang dan rombongannya merasa was-was.

Itu sebabnya rombongan Bambang selalu berangkat ketika hari mulai gelap dan pulang dalam keadaan hari masih gelap juga.

“Paling banyak 1 kilogram, enggak bisa banyak-banyak. Ya untuk dijual, tapi kalau dapat sedikit untuk konsumsi sendiri,” kata Bambang.

Namun, aktivitas ilegal itu kini sudah lama tidak dijalaninya lagi.

Kesibukan meramu dan menjual pupuk kompos telah menyita sebagian besar waktu Bambang.

“Udah enggak pernah masuk (kawasan hutan) lagi. Setelah ada usaha ini (pupuk kompos), kita tidak ada waktu lagi memancing ke hutan,” kata Bambang.


Beli kotoran sapi dari warga

Produksi pupuk kompos yang kini dijalani Bambang bisa mencapai 8 – 12 ton.

“Panen itu sekitar per tiga bulan, kisaran 8 sampai 12 ton. Sekarang ini bisa lebih, soalnya kebutuhan dan permintaan makin banyak, karena tanaman hias lagi naik daun,” kata Bambang.

Bambang menuturkan, bahan baku pembuatan pupuk kompos tersedia sangat banyak di desanya.

“Hampir 50 persen penduduk di sini memelihara sapi, sehingga ada banyak potensi, makanya kita membeli kotoran sapi dari mereka,” kata Bambang.

Bambang mengemas pupuk komposnya dengan kantong plastik. Sebab apabila menggunakan karung, pupuk menjadi keras.

“Setelah dicoba pakai kantong plastik, hasil panen pupuk tidak keras. Satu kantong ukuran 4 kilogram dijual Rp 7.500,” kata Bambang.

Pupuk kompos buatan kelompok Karya Lestari ini sudah dipasarkan di Lampung Timur, Kota Metro, hingga Bandar Lampung.

“Untuk daerah yang dekat, bebas ongkos kirim,” kata Bambang.

Kisah tobatnya perambah hutan karena kesibukan pemberdayaan desa penopang juga diceritakan Suhandak (55), warga Desa Braja Harjosari, Lampung Timur.

Suhandak kini menjadi pemandu wisata susur sungai di perbatasan antara kawasan hutan dengan desa.

“Ya, itu dosanya, dulu masuk hutan, merambah,” kata Suhandak.

Pengalaman masuk–keluar hutan membuat Suhandak memiliki pengetahuan istimewa, baik itu perilaku satwa, hingga ciri-ciri jalur satwa yang mempunyai nilai historis.

“Itu, jalur gajah pas melewati sungai,” kata Suhandak menunjuk sebuah ceruk di tepian sungai.

Ceruk itu, kata Suhandak, adalah pijakan yang terbentuk saat rombongan gajah sumatera naik ke daratan setelah menyeberang melalui sungai.

Hal lainnya, apabila para wisatawan ingin menikmati sunset sambil menyusuri sungai, Suhandak mengetahui lokasi terbaik untuk melihat pemandangan terbenamnya matahari.

“Ya pengalaman dulu itu, jadi tahu lokasi yang bagus-bagus. Kalau di sini, bisa bird watching burung yang ekosistemnya di air,” kata Suhandak.

Suhandak mengatakan, menjadi pemandu wisata dan memberdayakan warga desa penopang, menjadi semacam penebusan dosa atas kesalahannya dahulu.

“Sekarang ya jadi pemandu wisata saja. Sudah enggak lagi masuk hutan, kapok,” kata Suhandak.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/05/16121671/cerita-para-mantan-perambah-hutan-way-kambas-tobat-hingga-membangun-desa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke