Salin Artikel

Menggantungkan Harapan pada Teknologi Pertanian...

Di beberapa spot ia terlihat berdiam diri kemudian jongkok. Tangannya memegang tanaman bawang, dan matanya melihat dengan seksama kondisi bawang merahnya.

Setelah dirasa cukup melihat kondisi kebunnya, ia mengeluarkan smartphone dari kantung celananya. Ia membuka aplikasi dan menjalankan sistem irigasi otomatis dari telepon pintarnya tersebut.

Tak berapa lama, air dari sprinkle-sprinkle yang terpasang di kebun seluas 1 hektare itu menyirami tanaman bawang merahnya.

"Kira-kira butuh waktu 5-8 jam penyiraman. Setelah penyiraman selesai, air akan berhenti otomatis," ujar Ujang kepada Kompas.com di Bandung, Sabtu (19/12/2020).

Ujang menceritakan, sprinkle tersebut terhubung dengan selang dan toren air 2.000 liter yang akan terisi otomatis ketika isinya berkurang.

Ada beberapa teknologi yang disematkan dalam sistem irigasi otomatis ini. Pertama, IP smart camera sebagai pemantau perkembangan fisik tanaman.

Kedua, HBB AWS sebagai pembaca cuaca untuk prediksi hama dan penyakit. Ketiga, instalasi irigasi otomatis untuk distribusi air dan pupuk.

Sistem kerja teknologi ini, bisa dikendalikan dari jarak jauh melalui aplikasi android. Jadi, petani bisa mengontrol lahan pertaniannya dari manapun.

"Saat saya ke Jakarta beberapa waktu lalu, saya bisa menyiram kebun dari jarak jauh. Ini juga bisa disetting otomatis, misal menyiram dua hari sekali dari jam sekian ke jam sekian, maka otomatis akan terjadi penyiraman," ucap Ujang.

Sistem ini membuat pekerjaan lebih ringan dan cepat. Biasanya, untuk menyirami 1 ha lahan dibutuhkan waktu 5-6 hari. Namun kini hanya 5-8 jam.

Produktivitas pun naik 50-60 persen. Dari biasanya 10 ton bawang merah per hektare menjadi 15-16 ton per ha. Karena selain air, ia bisa mengecek nutrisi tanaman.

"Tanaman bawang merah sangat bergantung sama hujan, sehingga sistem irigasi otomatis ini sangat membantu. Pekerjaan pekerja juga lebih efektif. Mereka bisa lebih fokus di gudang dan pekerjaan lainnya," tutur dia.

Saat ini, teknologi dalam program Desa Digital ini baru diujicobakan pada 1 ha dari 100 ha lahan yang dimiliki Kelompok Tani Tricipta.

Ia masih mengandalkan cara-cara lama dalam berkebun. Mulai dari pembibitan, penanaman, pemupukan, penyiraman, hingga nantinya panen.

"Hasilnya, ya segitu-gitu aja. Kadang naik atau turun. Kalau naik juga ga banyak," tutur dia.

"Jumlah pupuk dan air berdasarkan pengalaman dan insting saja. Kadang saya campur dengan pupuk kandang karena sekarang susah mendapatkan pupuk subsidi," tambahnya.

Hal serupa disampaikan petani dari Pangalengan Bandung, Dani Ramdani (41). Salah satu kendala dalam agribisnis adalah pemasaran dan pupuk.

Untuk mendapatkan pupuk bersubsidi kini harus memiliki kartu tani. Kartu tersebut bisa didapat bila petani berkelompok.

Ia sendiri masih menggunakan pupuk non subsidi. Secara kualitas, ada beberapa pupuk yang digunakan olehnya lebih baik ketimbang pupuk subsidi.

Rasio penggunaan pupuknya lebih sedikit dengan hasil panen yang lebih baik. Namun karena harga mahal, tidak banyak yang menggunakan.

Begitupun dalam hal teknologi pertanian, akan sulit bagi petani bila tidak dibantu pihak lain.

"Index inovasi Indonesia peringkat kedua terendah di ASEAN setelah Kamboja," ungkap Herry.

Dalam Global Innovation Index (GII) 2019 disebutkan, Indonesia memiliki skor 29,8 atau peringkat ke-85 dari 129 negara di dunia.

Di ASEAN, peringkat inovasi Indonesia berada di posisi kedua terendah. Negara ASEAN yang menduduki posisi puncak adalah Singapura (10 besar dunia), Malaysia (35), kemudian Vietnam (42).

Kondisi ini harus diperbaiki untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Salah satunya dengan pengembangan pertanian modern.

Caranya dengan pengembangan smart farming, pengembangan dan pemanfaatkan screen house untuk meningkatkan produksi komoditas hortikultura di luar musim tanam.

Kemudian pengembangan food estate hingga pengembangan korporasi petani.

"Dari sisi produksi, penting juga menerapkan inovasi teknologi, penciptaan nilai tambah, dan peningkatan daya saing," tutur Herry.

Penerapan pertanian berbasis sains selain bisa meningkatkan produktivitas juga akan menarik minat generasi muda.

Apalagi petani muda saat ini masih rendah. Data Kementerian Pertanian tahun 2020 menyebutkan, petani berusia 20-39 tahun di Indonesia hanya 2,7 juta atau 8 persennya dari total 33,4 juta petani.

"Kami ingin mengembangkan teknologi pertanian. Drone terbang membawa pupuk cair disemprotkan, melihat penyiraman dengan mekanik. Jika musim kemarau, bisa menggunakan infus tetes," tutur Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil.

Untuk mewujudkannya, ia mengeluarkan program Sistem Informasi Peta Peruntukan Perkebunan (Si Perut Laper) hingga membentuk pusat digital desa untuk memperlancar pemasaran.

Pemprov Jabar pun mewadahi buyer dengan petani, sehingga nanti tak ada lagi cerita produk tani Jabar tidak terserap pasar.

Pertama, precission farming yakni memformulasi pupuk custom yang disesuaikan dengan kondisi tanah, kebutuhan hara tanaman, dan kebutuhan konsumen.

Dengan inovasi ini, produktivitas dipastikan meningkat. Pemakaian pupuk pun lebih hemat dan mengurangi pencemaran lingkungan karena tidak banyak pupuk yang terbuang.

"Kesulitannya diperlukan peralatan produksi yang fleksibel untuk membuat berbagai formula dalam jumlah relatif kecil," ujar Vice President Riset PT Pupuk Kujang Probo Condrosari.

Kedua, pupuk berbasis hayati yang bisa memperbaiki kualitas tanah, ramah lingkungan, meningkatkan efektivitas penyerapan pupuk, dan meningkatkan kualitas dan produktivitas hasil.

Ketiga, smart and modern farming. Yaitu pengembangan pertanian modern dengan pengaturan kondisi lingkungan sehingga sesuai dengan kebutuhan tanaman menggunakan smart greenhouse.

"Kesulitannya teknologi ini masih mahal di Indonesia," ucap dia.

Karena itu, pengembangan budidaya dengan smart greenhouse masih menyasar komoditas high level market segment dengan keunggulan kualitas produk baik dan seragam, penampilan produk dan rasa terbilang baik, bahkan less pesticide sehingga baik untuk kesehatan.

https://regional.kompas.com/read/2020/12/20/08330081/menggantungkan-harapan-pada-teknologi-pertanian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke