Salin Artikel

5 Kisah Guru Mengajar di Pedalaman, Gaji Habis untuk Beli Air hingga Bertahan di Desa Tanpa Daratan

Peran guru dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia sangat besar dan menentuka masa depan. Namun perjuangan para guru di pedalaman untuk mengajar tak pernah berhenti.

Di Kabupaten Mappi, Papua, seorang Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) mengaku gajinya habis untuk membeli air dan minyak tanah.

Mereka mengambil gajinya setiap dua bulan sekali karena harus menyewa perahu kecil untuk mengambil gaji di Distrik Haju.

Sementara di Kutai Kartanegara, seorang guru bertahan mengajar di sebuah desa tanpa daratan yakni Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis.
'
Saat mengajar, sang guru hampir saja menyerah karena 9 bulan tak digaji. Namun ia bertahan untuk mengajar para murid hingga dinyatakan lulus tes CPNS.

Berikut 5 kisah para guru yang mengajar di pedalaman:

Sebagai guru di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Diana menerima gaji Rp 4 juta pe bulan se

Namun nilai tersebut harus dipotong pajak pendapatan 5 persen. Selain itu untuk mengambil gaji, mereka harus menyewa perahu kecil utnuk pergi ke Distrik Haju.

Untuk mengakali pengeluaran, mereka mengambil gaji ke Bank Papua setiap dua bulan sekali. Selain itu gajinya juga cepat habis untuk membeli air minum, minyak tanah, dan juga BBM.

"Harga minyak tanah Rp 50 ribu per 5 liter, bensinnya 5 liter Rp 150 ribu," ucapnya.

"Biasa kita beli air mineral gelas perkartonnya Rp 100 ribu, biasa kita beli 10 dus untuk bertiga selama satu bulan. Kalau pas jalan kaki itu kita bawa satu-satu karton, lalu kita sewa anak murid dua orang untuk bantu kita," kata Diana.

Kondisi Distrik Haju yang merupakan wilayah rawa, tidak memungkinkan untuk mereka konsumsi air dari lokasi tersebut.

"Kita di sana borosnya di air minum, karena kondisi tempat tinggal kita kaya Asmat (rawa-rawa), jadi airnya tidak bisa untuk minum, jadi kita sangat bergantung sekali dengan air mineral," tutur Diana.

Bahkan mereka harus berjalan kaki 7 kilometer untuk mencari bahan makanan jika sungai surut dan perahu tak bisa digunakan.

"Sempat kali kering itu kita sempat mau mati kelaparan karena tidak bisa ke distrik. Jadi kita jalan kaki 7 kilometer lebih untuk bisa sampai ke distrik cari bahan makanan," ungkapnya.

Untuk menuju Desa Kindang bisa dilalui dua jalur.

Jalur pertama hanya bisa dilalui jalan kaki melewati jalan setapak dan jembatan bambu, jalur ini ditempuh 10 kilometer.

Sementara jalur keduan bisa ditempuh menggunakan roda dua dan roda empat dengan jarak sekitar 25 kilometer.

Setelah hamil ia memilik jalur kedua. Namun sebelum hamil ia melalui jalur pertama dengan berjalan kaki sejauh 10 kilometer.

Ia tak sendiri. Ada beberapa siswa yang melalui jembatan bambu termasuk petani yang memikul hasil panennya untuk dijual ke desa sebelah.

Empat tahun sudah Sri mengabdikan di sekolah yang berjarak 59 kilometer dari Kota Bulukumba.

Ia mengaku bangga dengan profesinya sebagai guru, meski hanya hanya mengajar di daerah terpencil. Alasan mengajar di daerah terpencil, hanya ingin membagikan ilmunya kepada banyak orang

"Daripada ilmu tertinggal lebih baik dibagi dan semoga bisa jadi amal jariyah," kata Sri, saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (22/9/2020). Ia mengaku menerima gaji Rp 300.000 yang dibayar per tiga bulan.

"Gajinya hanya Rp 300 ribu. Waktu terus berputar gaji mulai naik Rp 900 ribu per tiga bulan," tuturnya.

Sri mengaku ingin mengubah status dengan mendaftar CPNS, namun gagal terus.

"Sudah tiga kali saya daftar CPNS tapi tidak pernah lulus. Mungkin belum rezekinya," ungkapnya.

Desa tersebut berada di pesisir Danau Melintang. Rumah warga dibangun di atas danau tersebut.

Ia masuk ke desa tersebut pada tahun 1997 setelah lulus pesantren di Muara Muntai, Kutai Kartanegara.

“Saya awal ke sini tidak betah, tidak ada daratan. Mau ke sana kemari naik perahu. Satu tahun belum tentu lihat daratan. Hidup di atas air,” ungkap Hery saat dihubungi Kompas.com, Rabu (7/10/2020).

Saat itu Desa Muara Enggelam masih berstatus dusun,

“Anak-anak olahraga dalam gedung dibangun di atas air. Di situ kadang anak-anak main futsal. Rata-rata di sini rumah panggung,” terang pria kelahiran 28 Agustus 1976 ini.

Setahun tinggal di desa tersebut, ia ikut tes pembukaan guru honorer kontrak oleh Pemkab Kutai Kartanegara.

Ia ditempatkan di Dusung Kuyung. Setahun kemudian, dia kembali desa tanpa daratan sekitar tahun 2000.

Gaji Herry naik menjadi Rp 325.000. Utuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia dan istri membersihkan ikan.

“Tapi di tahun itu juga gaji mulai mandek. Kadang tidak gajian 7 bulan. Bahkan pernah sampai 9 bulan tidak gajian. Saya mau menyerah jadi guru,” kenang Hery.

Tahun 2009, ia ikut tes CPNS dan dinyatakan lulus. Kemudian, dia diangkat jadi Plt Kepala SDN 011 Muara Wis, Desa Enggelam tahun 2013 hingga sampai saat ini.

“Mau pelantikan tapi Covid-19 jadi belum dilantik jadi kepala sekolah defenitif,” pungkas dia.

Sambil menenteng tas kecil dan kotak bekal, ibu satu anak ini berjalan kaki membelah kesunyian menuju SDN Filial 004 di Kampung Berambai, Kecamatan Samarinda Utara.

Rumah Berta dan sekolah terpisah hutan lebat yang berjarak sekitar 5 kilometer.

Kawasan ini sebagian besar masih hutan.

“Tiap hari saya begini, jalan kaki lima kilo menuju sekolah bawa bekal,” ungkap Berta kepada Kompas.com saat ditemui di sekolah, Rabu (29/10/2020) sore.

Jalur yang dilewati Berta tak bisa dilewati kendaraan roda dua. Ia harus menaiki bukit dan menuruni lembah. Jalur tersebut terbentuk karena dilalui orang yang berkebun.

“Kalau tidak hati-hati bisa jatuh,” Berta mengingatkan saat kami menanjaki jalan berbukit.

Ketika hujan, kata Berta, jalan tanah ini licin dan lengket. Biasanya, ia menggunakan payung ke sekolah ketika hujan.

Tak jarang, perempuan kelahiran Tanah Toraja, Sulawesi Selatan menemui ular kobra, monyet, bahkan orangutan.

“Monyet paling sering ketemu. Orangutan dan ular jarang-jarang, tapi ular di sini rata-rata berbahaya, ular kobra. Tapi syukur sejauh ini saya aman saja,” harap Berta.

Lelaki yang akrab disapa Bepak Beganggum ini mengajar puluhan anak-anak.

Selama pandemi, Gentar tetap mengajar dengan berkeliling di daerah Makekal Ilir, di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).

Guru Lokasi mengajar Gentar hanya sepelemparan batu dari pondoknya yang beratap daun cikai, sejenis rumbia yang memliki bentuk lebih lebar.

Pondoknya hanya berlantai terpal. Selama pandemi, kegiatan belajar berupaya menerapkan protokol kesehatan.

"Bejarak-bejarak duduknyo (jaga jarak duduknya),” kata Gentar saat mengajar pada Selasa (24/11/2020).

Sebenarnya, jumlah murid Gentar di rombongan itu ada 25 anak. Hanya saja, hari itu sebagian anak pergi ikut orangtua mereka untuk mempersiapkan ritual adat orang rimba.

“Mumpa iyoilah keadaan kami belajor, kadong benyok kadang sedikit, tergantung bebudak (Seperti inilah kondisi kami belajar, kadang banyak, kadang sedikit, tergantung muridnya),” ujar Gentar.

Menurut Gentar, tidak ada jam khusus dalam belajar. Semua tergantung kecocokan masing-masing anak didik.

Pola pendidikan yang dikembangkan, menurut Gentar, sangat menyesuaikan dengan adat dan budaya orang rimba.

Apabila ada murid yang sakit, maka kegiatan belajar mengajar berhenti total. Sesuai dengan tradisi besesandingon, menurut Gentar, bagi anak atau orang yang sakit, harus dipisahkan dengan orang bungaron (sehat).

"Itu namanya becenenggo atau isolasi mandiri menurut orang luar," kata Gentar.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Dhias Suwandi, Nurwahidah, Zakarias Demon Daton, Suwandi | Editor : Dony Aprian, Khairina, Abba Gabrillin)

https://regional.kompas.com/read/2020/11/25/11330091/5-kisah-guru-mengajar-di-pedalaman-gaji-habis-untuk-beli-air-hingga-bertahan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke