Salin Artikel

Derita Nelayan di Pesisir Balikpapan, Area Tangkapan Terancam karena Industri

SAMARINDA, KOMPAS.com – Para nelayan di pesisir Karingau, Balikpapan, mengeluhkan pendapatan menurun.

Hal ini dipicu masuknya industri di kawasan ini sejak lima tahun terakhir.

“Dulu pendapatan kita bisa sampai Rp 3 juta per bulan. Sekarang sudah turun setengahnya. Kadang Rp 1,5 juta, kadang dibawa itu,” ungkap Rusli, Ketua Kelompok Nelayan Pesisir Karingau saat dihubungi Kompas.com, Rabu (4/11/2020).

Rusli mengisahkan sejak ditetapkan sebagai Kawasan Industri Karingau (KIK) 2010. Pendapatan nelayan mulai perlahan menurun.

Perusahaan-perusahaan masuk membangun dermaga penampung CPO, dermaga penimbunan batu bara, bengkel alat-alat berat usaha pertambangan, dermaga industri perkapalan dan lainnya.

Umumnya, kata Rusli, lahan-lahan yang dipakai perusahaan di sekitar wilayah pesisir tersebut sebagian besar sudah dibeli.

Perusahaan membebaskan lahan warga terus bangun dermaga, jetty dan lainnya di sisi- sisi sungai yang terhubung dengan lautan. Akibatnya ruang tangkap nelayan berkurang.

Keluar SK Gubernur Kaltim Nomor 530.05/K.448/2010 tentang Pembentukan Tim Persiapan Pengelola KIK Balikpapan oleh Awang Faroek Ishak yang menjabat saat itu menarik banyak investasi masuk ke Karingau sampai saat ini.

Dikutip dari website resmi Pemprov Kaltim, kawasan KIK akan jadi industri substitusi impor, manufaktur, lokal base dan industri campuran di sisi utara.

Sisi selatan berupa manufaktur logam dan kimia, industri teknologi modern dan industri berorientasi ekspor.

Sisi barat pesisir atau daerah pinggir, untuk sektor batu bara dan briket batu bara, minyak dan gas, methanol, olefin dan arimatik, karet, dan lain-lain.

Kawasan industri ini berdiri di atas lahan seluas 2.189 hektare, milik Pemkot Balikpapan, PT Pelindo IV, PT PLN, PT Semen Gresik, PT Gunung Bayan, dan lahan Pemprov Kaltim.

Areal tangkap makin sempit

Sejak ditetapkan sebagai kawasan industri, perlahan area tangkap nelayan makin sempit, seiring padatnya arus lalu lintas di pesisir Teluk Balikpapan.

Terlebih hilir mudik kapal-kapal minyak dan batu bara.

Belum lagi dampak lain seperti limbah CPO, tumpahan minyak dan batu bara, limbah alat berat ke sungai, lalu lintas kapal padat, dan berbagai masalah lainnya.

Akibatnya, wilayah tangkap nelayan di pesisir Sungai Wain, Sungai Somber, Tempadung, Berenga, Sepaku, Semoi, dan sekitar itu turut terdampak.

Ikan dan kepiting sungai berkurang. Areal ini meliputi dua wilayah, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kota Balikpapan. Nelayan kedua daerah ini mencari makan di tempat sama.

Rusli mengaku jadi nelayan di kawasan pesisir sudah tiga generasi. Dari kakek, bapak, dan dirinya.

Dia memilih jadi nelayan karena penghasilan mencukupi sebelum ditetapkan jadi kawasan industri, pun mempertahankan tradisi masyarakat pesisir.

Tapi harapan itu perlahan pupus, karena ruang tangkap makin berkurang.

Rusli dan para nelayan menginginkan ada pemulihan hutan bakau, biota sungai dan laut, yang ada di kawasan pesisir.

“Jika tidak dilakukan, maka bisa saja lima tahun kedepan nelayan kita sudah tidak ada,” terang dia.

Kelompok nelayan pesisir yang dipimpin Rusli ada 30 anggota dalam satu RT saja. Di luar RT-nya membangun kelompok nelayan lain.

Ada dua kelompok nelayan di tempat tinggal Rusli di pesisir Karingau, Balikpapan Barat.

Nelayan di lokasi ini, terang Rusli, umumnya menangkap kepiting, udang, ikan dan lainnya di kawasan pesisir Karingau, yang sebagian besar ada di hutan bakau.

Hasil tangkapan itu biasa dijual ke para pengepul yang membeli langsung ke lokasi. Kepiting biasa dijual ke pengepul ekspor, sisanya dijual ke pengepul lokal.

Dalam satu bulan, hasil tangkapan nelayan hanya berkisar 50 kilogram. Kadang dibawa dari itu.

Turun jauh dari hasil tangkapan sebelum ada industri, di atas 100 kilogram, mulai dari kepiting, udang, ikan dan lainnya.

Pandemi Covid-19 memperparah

“Sudah jatuh tertimpah tangga pula,” celetuk Rusli saat disinggung nasib nelayan Karingau di tengah pandemi Covid-19.

Rusli mengungkapkan pendapat nelayan di tengah pandemi terus menurun.

Jika sebelumnya bisa dapat Rp 1,5 juta perbulan. Di tengah pandemi hanya berkisar Rp 750.000 atau di bawah Rp 1 juta.

Hal ini karena sejumlah daerah di awal-awal menerapkan lockdown, penutupan restaurant dan lain-lainnya, berpengaruh bagi nelayan pesisir di Balikpapan.

“Kalau kepiting di sini biasa diekspor ke Cina, Singapore dan lainnya. Kalau akses masuknya terganggu, pengepul enggak beli kepiting lagi kan. Begitu juga dengan pasar lokal. Pengepul lokal biasa jual di Jakarta, Bandung, Surabaya dan seterusnya,” terang Rusli.

Pandemi Covid-19 juga menghantam harga jual nelayan ke pengepul. Pengepul sering menawar harga beli rendah dengan alasan Covid-19.

https://regional.kompas.com/read/2020/11/04/21150031/derita-nelayan-di-pesisir-balikpapan-area-tangkapan-terancam-karena-industri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke