Salin Artikel

Kisah Nelayan Tradisional Sungai Kampar Bertahan Hidup di Tengah Pandemi

PEKANBARU, KOMPAS.com - Di sepanjang aliran Sungai Kampar cukup banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan atau disebut nelayan.

Salah satunya adalah Kadindin, warga Desa Kuapan, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Pria 50 tahun ini setiap hari menangkap ikan dengan menggunakan peralatan tradisional.

Kehidupan Kadindin jauh dari kata layak.

Ia hanya tinggal seorang diri di gubuk kecil terbuat dari kayu.

Gubuk itu berada persis di tepi tebing Sungai Kampar.

Kompas.com mengunjungi kediaman Kadindin, Minggu (1/11/2020) sore pukul 17.00 WIB.

Saat itu, ia tidak ada digubuknya. Namun, sampan kayu yang biasa digunakan untuk mencari ikan tak ada ditambatan.

Seperti biasanya, setiap sore dia pergi mencari ikan di sungai.

Dua puluh menit menjelang azan maghrib, cuaca yang cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung.

Angin begitu kencang hingga membuat pohon-pohon kelapa dan durian di sekitar gubuknya bergoyang.

Namun, Kadindin masih belum menampakkan dirinya.

Di tengah tiupan angin kencang yang memecah ketenangan arus sungai, sayup-sayup terlihat seorang pria tak berbaju mendayung sampan dari arah hilir ke hulu di tepi sungai.

Sampannya bergerak gontai, karena melawan arah angin.

Arus sungai deras dan menjadi bergelombang.

Kadindin pun akhirnya tiba. Ternyata ia baru pulang dari menjaring ikan dengan menggunakan pukat.

Wajahnya tampak begitu lelah setelah mendayung sampan. Kulitnya hitam terbakar matahari.

Letih tak terkira dirasakan pria yang sudah beruban ini.

Ironisnya lagi, tidak ada satu pun ikan yang didapat.

Setelah menambatkan sampannya di batang kayu yang sudah mati, Kadindin menceburkan dirinya ke sungai.

Azan maghrib pun berkumandang. Kadindin turun lagi ke sungai mengambil wudhu untuk menunaikan shalat.

Usai shalat, pria empat anak ini mengambil jalanya untuk diperbaiki.

Jala yang biasa digunakan untuk mencari ikan ada sejumlah rusak akibat tersangkut pada kayu di dasar sungai.

Tinggal di gubuk

Kadindin tinggal seorang diri di gubuk kecil di tebing Sungai Kampar.

Letak gubuknya ini tak jauh dari jembatan kembar yang merupakan jalan lintas sumatera, sekitar 34 kilometer dari Kota Pekanbaru.

Tebing dibagian depan gubuknya sudah longsor akibat tergerus banjir tahun 2018 silam.

Di gubuk berdinding papan 2x2 meter itulah Kadindin menghabiskan sisa hidupnya.

Gubuk itu sewaktu-waktu bisa saja ambruk atau hanyut. Pasalnya, aliran Sungai Kampar hampir setiap tahun meluap hingga menyebabkan banjir.

Meski beberapa kali diterjang banjir, beruntung gubuk Kadindin masih selamat.

Malam-malam yang dingin ia lewati sendiri. Tak ada pula lampu listrik di gubuk itu. Malam hari hanya cahaya lampu pelita yang menemaninya.

Ternyata, ia sudah lama berpisah dengan istrinya.

"Saya sudah sepuluh tahun pisah sama istri," sebut Kadindin saat berbincang dengan Kompas.com.

Sambil merajut jala, ia mengatakan empat orang anaknya, tiga laki-laki dan satu perempuan, kini tinggal di tempat saudaranya.

Dua orang anaknya masih sekolah menengah atas (SMA), sedangkan dua lagi sudah tamat. Sesekali anaknya datang ke gubuk mengantar makanan.

Kadindin mengaku tidak punya rumah tempat tinggal.

"Rumah saya tak punya. Di pondok ini lah saya tinggal sendiri sudah dua tahun. Itu pun di sini saya cuma menumpang. Pondok dan tanah ini punyanya mendiang Bupati Kampar, Pak Aziz Zaenal," kata Kadindin.

Pakai peralatan tradisional

Kadindin satu dari puluhan nelayan yang mencari ikan di aliran Sungai Kampar.

Penangkapan ikan dilakukan dengan cara tradisional. Bermodalkan sampan kayu untuk mengarungi sungai.

Sungai tempatnya mencari ikan memiliki kedalaman sekitar lima hingga delapan meter, sedangkan lebarnya sekitar 300 meter.

"Di Desa Kuapan ini ada sekitar 40 orang nelayan aktif. Nangkap ikan kami menggunakan jala, pukat, pancing, dan juga menembak dengan cara menyelam ke dasar sungai," akui Kadindin.

Kadindin sendiri mengaku tak ada jadwal untuk mencari ikan. Kapan saja dia bisa masuk ke sungai membawa peralatannya.

Tapi, biasanya dia lebih sering cari ikan mulai subuh hingga pukul 10.00 WIB. Kemudian, sore harinya jam 15.00-18.00 WIB.

"Ya, kalau jadwalnya enggak ada. Kalau cuaca bagus saya cari ikan. Kalau air dangkal seperti sekarang, saya juga pasang pancing rawai," cerita Kadindin.

Saat ini, ia mengaku tangkapan ikan berkurang. Penyebabnya, menurut Kadindin, karena cuaca tak menentu.

Pada saat musim hujan, air sungai naik, sehingga cari ikan agak susah. Tangkapan lebih banyak di waktu air surut.

Ikan-ikan yang didapat bermacam jenis. Yang berkualitas dan harganya tinggi, seperti baung, geso, hampala, termasuk kepiek, ikan khas Sungai Kampar.

"Kadang ada juga udang gala. Harga udang memang mahal, harganya Rp 120.000 perkilogram, tapi nyarinya susah sekali. Dapatnya cuma sesekali. Sekarang ini tak hanya udang yang susah dicari, tapi ikan juga lagi payah," akui Kadindin.

"Selama corona ini ikan pun jaga jarak sama kita," imbuhnya berseloroh.

Ekonomi semakin sulit

Sejak Covid-19 mewabah, Kadindin mengaku ekonominya semaki sulit. Rupiah begitu susah ia dapatkan.

"Sekarang ekonomi nelayan semakin payah sejak ada corona. Cari ikan pun juga lagi susah," ungkap Kadindin.

Mendapat ikan yang banyak hanya ada dalam khayalan. Sebab, cuaca yang saat ini tak menentu menyulitkan dia mencari ikan.

Penghasilan dari menangkap ikan tak menentu. Tergantung dari ikan yang didapat. Kadang ada, kadang tidak.

Sejak sepekan terakhir, Kadindin bercerita sulitnya mencari ikan. Selain karena cuaca tak menentu, kondisi aliran sungai juga sedang banyak lumut hijau.

"Lumut sekarang banyak, susah menjaring,"  sebutnya.

Kadindin mengaku, dalam sehari kadang hanya dapat uang Rp 30.000 dari penjualan ikan.

"Hari Jumat kemarin saya cuma dapat ikan jenis motan kecil-kecil hasil pancing. Saya  jual dapat uang Rp 30.000 buat beli beras, kopi dan gula," kata dia.

Tak diperhatikan pemerintah

Kadindin tak punya pekerjaan tetap selain nelayan. Hari-harinya habis di Sungai Kampar mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah pandemi Covid-19.

Sudahlah tinggal seorang diri di gubuk milik orang lain, tak pula dapat perhatian dari pemerintah.

Padahal, hasil dari tangkapan ikan sangat tak seberapa ia dapat. Apalagi, sampan kayu yang digunakan setiap hari sudah lapuk.

"Yang namanya cari ikan, ya gitu lah, kadang ada rezeki, kadang tidak. Kalau ikan lagi payah, kadang saya minta kerja buruh sama kawan. Itu pun cuma ada sesekali," tutur Kadindin.

Saat ditanya apakah sudah ada mendapat bantuan selama Covid-19, Kadindin mengaku tak kebagian sedikitpun.

Sebagai rakyat tidak mampu yang ekonominya terdampak akibat Covid-19, mestinya ia mendapat uluran tangan dari Pemerintah Kabupaten Kampar.

"Belum ada dapat bantuan," akui Kadindin.

Beberapa waktu lalu, ia mendengar ada bantuan dana dari pemerintah, yaitu bantuan langsung tunai (BLT). Dana itu buat membantu masyarakat yang terdampak Covid-19.

Namun, Kadindin hanya bisa mendengar cerita dari orang-orang disekitarnya. Bantuan itu tak dapat ia rasakan.

"Waktu itu ada kawan yang tanya, bapak ada dapat BLT. Saya bilang tidak ada," cerita Kadindin.

Kadindin pun hanya bisa pasrah. Dengan wajah yang sedih, ia mengaku tetap bekerja keras mencari ikan di sungai demi sesuap nasi.

"Saya tak menyerah, dan tetap cari ikan. Kalau dapat ikan dijual lalu beli beras. Kalau tak dapat, ya terpaksa puasa," kata Kadindin.

https://regional.kompas.com/read/2020/11/02/05000001/kisah-nelayan-tradisional-sungai-kampar-bertahan-hidup-di-tengah-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke