Salin Artikel

Kisah Guru yang Mengajar di Desa Tanpa Daratan, Pernah 9 Bulan Tak Digaji

SAMARINDA, KOMPAS.com – Perjuangan Hery Cahyadi sebagai tenaga pendidik di desa terisolir menemui jalan berliku.

Ia bertahan mengajar di sebuah desa tanpa daratan yakni Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.

“Saya awal ke sini tidak betah, tidak ada daratan. Mau ke sana kemari naik perahu. Satu tahun belum tentu lihat daratan. Hidup di atas air,” ungkap Hery saat dihubungi Kompas.com, Rabu (7/10/2020).

Letak Desa Muara Enggelam berada di pesisir Danau Melintang.

Rumah warga dibangun di atas danau tersebut. Desa ini memang tak punya daratan.

Danau Melintang menjadi satu-satunya akses masyarakat karena tak ada akses darat menuju desa ini.

Masyarakat setempat menggunakan perahu kecil bermesin tunggal sebagai alat transportasi untuk mengantar anak ke sekolah dan keperluannya di desa.

“Anak-anak olahraga dalam gedung dibangun di atas air. Di situ kadang anak-anak main futsal. Rata-rata di sini rumah panggung,” terang pria kelahiran 28 Agustus 1976 ini.

Tidak ada jaringan internet 

Selain tak punya daratan, desa ini juga jarang punya jaringan internet yang stabil. Hanya di titik tertentu.

“Begitu geser sedikit sinyal langsung hilang,” tutur Hery.

Selama pandemi Covid-19, dia bersama delapan rekan guru lainnya yang mengajar di SDN 011 Muara Wis terpaksa mendatangi rumah para siswa.

Pasalnya, jaringan internet tak memungkinkan mereka untuk belajar daring.

“Kami keliling beri pelajar dan beri soal di rumah siswa didampingi orangtua. Begitu seterusnya selama Covid-19 ini,” kata dia.

Tak digaji 9 bulan 

Perjalanan Hery menjadi guru di desa ini berliku. Ia masuk ke desa tanpa daratan ini pada tahun 1997.

Hery hanya seorang santri lulusan pasantren di Muara Muntai, Kutai Kertenagara.

“Setelah lulus ustaz saya minta mengajar ngaji di sini. Saya ikut saja,” kenangnya.

Saat itu, lanjutnya, Desa Muara Enggelam masih dusun belum menjadi desa.

“Awal datang tidak betah. Tapi coba bertahan saja. Setelah satu tahun ternyata dapat istri di sini,” cerita dia.

Setahun setelah menikah, Hery ikut tes pembukaan guru honorer kontrak oleh Pemkab Kutai Kertanegara.

Ia terpilih dan ditempatkan di Dusun Kuyung, Desa Sebemban, Kecamatan Muara.

“Di sana tidak ada listrik. Hanya pakai genset. Malam pukul 9 sudah mati,” kenang dia.

Di Dusun Kuyung, Hery dipinjamkan rumah oleh seorang tokoh masyarakat setempat.

Di rumah itu Hery tinggal bersama sang istri.

“Waktu itu gaji saya Rp 200.000,” ungkap Hery.

Setahun lebih mengajar di dusun tanpa listrik, Hery minta pindah kembali ke desa semula tanpa daratan.

Sekitar tahun 2000, ia bersama istri pindah ke Desa Muara Enggelam.

Dua tahun setelah di Desa Enggelam, gaji Hery naik menjadi Rp 325.000.

Untuk memenuhi keluarga, Hery dibantu istri bekerja membersihkan ikan.

Tahun 2004 kembali gajinya naik menjadi Rp 480.000.

“Tapi di tahun itu juga gaji mulai mandek. Kadang tidak gajian 7 bulan. Bahkan pernah sampai 9 bulan tidak gajian. Saya mau menyerah jadi guru,” kenang Hery.

Saat itu, kata Hery, ada banyak guru yang ditempat di SDN 011 Muara Wis Desa Enggelam namun kebanyakan tidak betah.

Beberapa bulan mengajar mereka minta pindah, begitu seterusnya.

Selain karena desa tanpa daratan, akses jauh dari pusat kota dan tanpa jaringan internet.

Namun di tengah keterbatasan tersebut, Hery tetap bertahan.

Hingga tahun 2009 dirinya ikut tes CPNS dan dinyatakan lulus.

Kemudian, dia diangkat jadi Plt Kepala SDN 011 Muara Wis, Desa Enggelam tahun 2013 hingga sampai saat ini.

“Mau pelantikan tapi Covid-19 jadi belum dilantik jadi kepala sekolah defenitif,” pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/08/09000141/kisah-guru-yang-mengajar-di-desa-tanpa-daratan-pernah-9-bulan-tak-digaji

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke