Salin Artikel

Kisah Parlin, Kakak-beradik Penjual Bakso Legendaris di Kantin ITS

SURABAYA, KOMPAS.com - Kuah dan pentol bakso Pak Parlin di kantin belakang gedung Biro Administrasi Pembelajaran dan Kesejahteraan Mahasiswa (BAPKM) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya atau dikenal kantin TPB, menggugah selera.

Rizki, mahasiswa semester 5 jurusan Tekni Mesin, sampai nambah kuah dan pentol bakso yang kata dia rasanya enak dan gurih itu. Bakso Pak Parlin membuat pelanggannya ketagihan.

Rizki sangat senang makan di bakso Pak Parlin karena selain enak, pelanggan bisa bebas menambah porsi kalau masih kurang, sesuai selera.

"Jadi, enak ya kalau bebas ambil sendiri, kalau kurang ya tinggal ambil lagi. Biasanya saya suka nambah kuah dan pentol, karena murah dan enak," kata Rizki, kepada Kompas.com, belum lama ini.

Bakso Pak Parlin merupakan salah satu favorit selain Bakso Pak Dhi yang legendaris, di Kantin Arsitektur ITS.

Bakso kakak-beradik

Parlin, pemilik dagangan bakso itu merupakan adik kandung Pardi, penjual "Bakso Pak Dhi", di Kantin Arsitektur ITS.

Ia pun menceritakan awal mula berjualan bakso di Surabaya.

Menurut Parlin, pada tahun 1980-an, ia yang saat itu masih bujang diajak abangnya, Pardi, untuk merantau ke Surabaya dan berjualan bakso.

Pria asal Sragen itu, mulai berjualan bakso keliling pada 1985 di Surabaya, terutama di kawasan Keputih, Mulyosari, perumahan dosen, dan sekitar kawasan ITS.

"Sekitar tahun 85 saya keliling ke ITS, cuma saat jam makan siang saja ke sini. Habis ke sini (ITS) nanti keliling lagi. Jadi, awalnya seperti itu," kata Parlin, kepada Kompas.com, belum lama ini.

Menurut dia, untuk bisa menetap dan berjualan di ITS, prosesnya cukup lama. Parlin setidaknya membutuhkan waktu sekitar 13 tahun.

Saat masih jualan bakso keliling di ITS, jarang ada mahasiswa yang membeli baksonya.

Kebanyakan justru karyawan di kampus tersebut, namun itu juga tak seberapa.

"Satu hari itu kadang laku 5 mangkok kadang 3 mangkok. Enggak kayak gini. Dulu masih sepi," cerita Parlin.

Selama bertahun-tahun berjualan bakso keliling, beberapa karyawan di ITS kemudian meminta dia untuk mengantarkan bakso ke dalam kampus.

Sebab, menurut Parlin, saat itu masih belum banyak pedagang yang berjualan.

Parlin bercerita, awalnya sang kakak yang diminta untuk mengantarkan bakso di gedung pusat ITS. Namun, karena letaknya yang jauh, Pardi meminta Parlin untuk mengantarkan bakso.

Karena saat itu, Parlin masih berjualan bakso keliling menggunakan sepeda ontel. Lambat laun, Parlin kemudian dipersilakan untuk menetap berjualan bakso di ITS.

Ia juga tidak bisa menilai sendiri apakah baksonya enak, sehingga diminta berjualan di dalam kampus.

Namun, saat itu, tepatnya tahun 1997, ia mengaku jarang ada pedagang yang jualan di dalam kampus.

"Kan lingkungan di sini (ITS) belum banyak yang jualan. Dari sini (kantin) dan sekitarnya (jarak antargedung satu dan gedung lainnya) jauh," ujar Parlin.

"Dulu yang minta saya jualan di sini Pak Widodo, dulu salah satu kajur di sini. Itu tahun 1997 mulai jualan, sebelumnya saya masih jualan keliling," tutur dia.

Semenjak berjualan di dalam kampus, Bakso Pak Parlin mulai ramai pembeli, terutama mahasiswa.

Ia pun mengaku bersyukur bisa berjualan di dalam kampus karena penghasilannya disebut terus mengalami peningkatan hingga saat ini.

"Karena banyak mahasiswa itu ya, jadi lumayan ramailah, bisa mendukung perkembangan saya. Jadi, enggak sampai keliling lagi," ujar Parlin.

Untuk saat ini, pendapatan harian dari jualan bakso ia mendapatkan uang sekitar Rp 1.200.000-Rp 1.500.000.

Namun, keuntungan bersih yang didapat sekitar Rp 150.000-Rp 200.000 per harinya.

Angka itu disebut fluktuatif tergantung seberapa banyak mahasiswa, alumni, karyawan, maupun dosen membeli baksonya.

Belajar dari Pardi

Menurut Parlin, cita rasa dan resep baksonya tidak jauh berbeda dengan Bakso Pak Dhi milik Pardi.

Sebab, kata dia, sejak awal merintis memang sang kakak yang mengajarinya cara membuat bakso.

Dari situ pula, Parlin kemudian bisa hidup secara mandiri dan tidak lagi bergantung dengan Pardi.

"Dulu yang ngajarin saya bikin bakso, ya Pak Dhi. Jadi semua resepnya dari Pak Dhi. Jadi cita rasanya sama," kata dia.

Sebelum berjualan bakso, ia sering mencangkul sawah di kampung halamannya di Sragen, Jawa Tengah.

Kemudian, Parlin diajak untuk merantau ke Surabaya oleh Pardi tahun 1980-an. Menurut Parlin, Pardi yang mengajarinya berjualan.

"Saya di kampung masih nyangkul terus diajak ke sini diajarin jualan. Saya dibikinin rombong pakai sepeda ontel yang digonceng di belakang itu," ujar dia.

"Jadi kayak tukang sayur begitu rombongnya dan keliling-keliling di perumahan situ (perumahan dosen ITS). Kalau siang ke sini (ITS). Nanti kalau enggak habis keliling lagi, sampai tahun 1997," ujar dia.

Berjualan di ITS

Sejak tahun 1997 hingga saat ini, Bakso Pak Parlin menjadi langganan mahasiswa hampir di semua jurusan.

Letak kantin yang berada di tengah-tengah kampus, membuat mahasiswa semua jurusan di ITS memilih makan bakso Pak Parlin.

"Mahasiswa selalu ramai ke sini. Tapi, kalau libur memang agak sepi, tapi saya tetap jualan karena masih ada yang beli. Termasuk alumni-alumni masih cari saya, sampai sekarang pun kadang-kadang masih kangen katanya. Kangen baksonya Pak Parlin," ujar dia.

Semenjak jualan bakso menetap di ITS, ia membebaskan para pembeli untuk mengambil makanan sendiri.

Parlin juga menuliskan harga pentol, tahu goreng, siomai, gorengan hingga lontong, di samping gerobak baksonya.

Harga pentol kecil Rp 1.000 rupiah, pentol besar puyuh Rp 2.000, pentol besar kasar Rp 2.000, pentol besar keju Rp 2.000, tahu goreng, siomai, dan gorengan Rp 5.000, serta lontong atau ketupat Rp 2.000.

Namun, karena mahasiswa sudah mengetahui harga macam-macam pentol dan turunannya, papan harga kemudian tidak lagi dipasang.

"Kadang-kadang setelah membayar, mahasiswa ambil kembalian sendiri. Karena kadang saya repot cuci piring, jadi tak suruh ambil kembalian sendiri, sudah saya siapin," kata Parlin.

Ia mengaku, tidak khawatir ada yang berbuat curang, karena ia berjualan dengan ikhlas dan tidak memiliki prasangka buruk terhadap para pembeli.

"Ya, mungkin ada yang lupa satu dua orang ya, tapi sudah wajar. Namanya orang itu enggak ada yang sempurna. Bagi saya ikhlas saja," tutur Parlin.

https://regional.kompas.com/read/2019/10/07/12451491/kisah-parlin-kakak-beradik-penjual-bakso-legendaris-di-kantin-its

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke