Salin Artikel

Nglarak Blarak, Pacuan Kereta dengan Pelepah Kelapa yang Mendunia

KULON PROGO, KOMPAS.com - Tangan, kaki, dan tubuh Dinda Hapsari, 17 tahun, terlihat kuat.

Gadis ini asal Desa Kranggan, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dinda dipercaya sebagai orang yang beraksi pertama dalam timnya. Tugasnya, menggiring ronjot dengan cara menggelindingkannya sampai pada suatu titik, kemudian menggendong ronjot itu, lantas mengambil sabut kulit luar kepala (warga menyebutnya sebagai sepet) dengan tongkat dahan pohon kelapa yang dibawanya.

Pelajar SMK 1 Kecamatan Panjatan itu lantas menggiring sepet seperti pemain golf menggiring bola golf menuju lubang.

Ronjot, warga setempat melafalkannya sebagai "kronjot", merupakan keranjang bulat yang kerap dipakai untuk menampung rumput pakan ternak.

Ketepatan, keterampilan menggelindingkan ronjot, dan menggiring sepet menjadi "menang langkah" awal bagi tim Desa Kranggan di babak-babak awal kompetisi Nglarak Blarak tingkat Kecamatan Galur.

Dinda menentukan "menang langkah" ini dan selalu membuat tim lawan tertinggal jauh.

"Melempar sepet itu bermain teknik. Kalau tidak pakai teknik maka sepet hanya akan sampai tengah saja dan tidak sampai ke sana (pemain berikutnya)," kata Dinda usai kemenangan pertamanya di hari itu di Lapangan Brosot, Minggu (29/9/2019).

Nglarak blarak merupakan permainan rakyat sejenis pacuan kereta yang terbangun dari blarak atau pelepah kelapa. Tiga pemuda kekar menarik kereta dengan sekuat tenaga mengelilingi sebuah arenapertandingan.

Bisa dibayangkan bagaimana sang joki yang perempuan harus memegang kendali dengan sangat kuat, menjaga keseimbangan tubuh, serta tidak takut sakit ketika jatuh terhempas akibat kencangnya kereta blarak yang dipacu.

Adu cepat berlangsung di lapangan dengan tanah keras dan berumput itu sebenarnya bikin jantung siapa pun dag dig dug tidak karuan sejak awal pertandingan berlangsung.

Semua serba berpacu. Penonton dibuat tegang.

“Rasanya senang. Kesulitan pada permainan ini angin kencang, kronjot ringan muternya. Terbawa angin adalah paling sulit,” kata Dinda.

Permainan nglarak blarak belum selesai. Ronjot dan sepet yang digiring Dinda akan diterima dan dilanjutkan pemain berikutnya. Rekan Dinda selanjutnya bertubuh mungil.

Ia bertugas menerima ronjot dan sepet dari Dinda, lantas membawa semua itu dengan cara berjalan dalam ronjot. Otomatis itu dilakukan dengan melompat, sampai pada sudut di mana rekan lain menunggu.

Pemain ketika bertugas joki. Ia mengawali dengan berjalan cepat dengan alas kaki sepet yang diterimanya. Ia berjalan menuju kereta dari pelepah pohon kelapa di mana 3 pemuda kekar sudah siap menariknya.

Aksi Dinda dan kawan-kawan berlangsung di awal kompetisi Nglarak Blarak tingkat Kecamatan Galur yang berlangsung di lapangan Desa Brosot.

Tak ada tim yang mau mengalah dalam tiap pertandingan di sini. Tiga laki-laki berbadan kekar menarik kencang kereta blarak demi mengejar ketinggalan. Akibatnya, tidak sedikit joki yang terhempas ke tanah ketika blarak dipacu.

Ketengangan meningkat seiring cuaca panas sepanjang pertandingan. Warga berkali-kali histeris di tengah ketegangan itu. Sementara itu, tiap tim selalu menyambut kemenangan dengan selebrasi sambil menari.

Permainan tradisional tempo dulu

Awalnya nglarak blarak diyakini berkembang di masyarakat penyadap (penderes) nira kelapa di perbukitan Menoreh. Mereka memanfaatkan pelepah kelapa sebagai kereta tunggangan.

Sambil menyeret pelepah daun kelapa, permainan mereka juga memanfaatkan bumbung bambu yang biasa digunakan sebagai wadah nira hasil sadap.

Mereka lantas adu cepat memperebutkan bumbung ini.

Seorang pakar seni budaya Kulon Progo mencipta permainan dengan kreasi yang lebih menarik untuk dimainkan, enak ditonton, sekaligus menyehatkan.

Ia memadu rekreasi, edukasi, sekaligus prestasi sehingga bisa menghibur semua pengunjung. Kreasi ini mempertemukan 2 tim yang saling berlawanan.

Masing-masing tim terdiri 3 perempuan dan 3 laki-laki. Mereka akan adu cepat mengelilingi arena berbentuk lapangan persegi empat. Adu cepat itu dilakukan sambil menarik kereta blarak demi memperebutkan bumbung.

Permainan berlangsung tiga babak. Banyak wasit dan juri terlibat sepanjang pertandingan itu. Nglarak blarak juga terkesan sangat meriah karena tetabuh gamelan para supporter tiap tim.

Sejak kemunculan olahraga tradisional ini, nglarak blarak semakin diterima masyarakat. Ada yang menyebutnya sebagai Nglabrak. Permainan ini bahkan pernah terpilih sebagai perwakilan DIY dalam ajang Festival Olahraga Tradisional Tingkat Nasional 3 tahun yang lalu.

Nglabrak juga mewakili Indonesia dalam ajang The Association For International Sport for All (TAFISA) World Games 2016.

Pemerintah kabupaten mendorong Nglabrak semakin bergairah melalui kompetisi mulai tingkat dusun hingga tingkat kabupaten dengan harapan semakin diterima di semua lapisan masyarakat. Berlangsung awal di 2017.

Kemudian, pada tahun 2018, Nglarak Blarak berlangsung diikuti semua kecamatan di Kulon Progo. Kompetisi itu diawali seleksi sejak dari tingkat dusun, desa, kecamatan, dan final berlangsung di alun-alun Wates.

"Terjun pertama di 2017. Saat itu hanya menang tingkat kecamatan tapi kalah di tingkat kabupaten,"kata Muhamad Ribowo, ofisial Tim Kranggan.

Beberapa tahun perkembangan nglarak blarak, kualitas strategi para peserta juga meningkat.

Seperti, jalinan daun kelapa dari blarak demi menguatkan struktur kereta, memilih pelepah yang dianggap ringan namun kuat, bagaimana mengikat blarak agar kuat ketika ditarik pemacunya, namun tidak meninggalkan keindahan blarak.

Mereka juga menambahkan ‘teknologi sederhana’ berupa kulit buah kepala di bawah pijakan kaki joki sehingga semakin memudahkan menarik blarak.

“Intinya bagaimana enak dinaiki sang joki,” kata Ribowo.

Butuh kekompakan

Dinda mengatakan, ia sudah mempersiapkan diri untuk memenangi kompetisi ini. Ia mengakui, ada kebanggaan pada kebudayaan sendiri.

Ia kembali terpanggil untuk ikut kompetisi di tahun ini.

"Saya senang. Dulu cuma di tingkat desa dua tahun lalu. Sekarang ditawari lagi. Asyik banget," kata Dinda.

Dinda mengenal nglarak blarak sejak turun bersama Tim Kranggan di kompetisi serupa pada tahun 2018. Ia sudah dipercaya sebagai penggelinding ronjot.

Bersama dirinya, ada 3 perempuan lain, satunya sebagai joki kuda blarak pacuan, pembawa ronjot dan 1 sebagai cadangan. Sementara 3 pemuda kekar sebagai penarik kereta diperkuat 2 penarik cadangan.

Tim Kranggan melalui perjalanan panjang dalam 2 bulan belakangan untuk tiba di pertandingan antar desa. Dinda dan kawan-kawan mewakili 9 dusun yang ada di desa mereka. Selanjutnya, mereka melawan 6 tim dari desa lain untuk jadi yang terbaik di tingkat kecamatan.

Mereka berniat melaju ke tingkat kabupaten.

“Kami menargetkan menang dulu tingkat kecamatan untuk ke tingkat kabupaten,” kata Ribowo.

Untuk mewujudkannya, mereka melakukan persiapan yang tidak sembarangan. Ribowo menceritakan, timnya latihan satu sampai dua kali dalam satu minggu.

Namun, yang paling utama, mereka lebih banyak ngumpul bersama, membahas persiapan, strategi, membangun kekompakan, serta kebersamaan di antara pemain.

Semua demi mengulang kemenangan yang pernah mereka raih di 2018 lalu.

"Kami menang juara tingkat kabupaten pada tahun 2018," kata Ribowo.

Namun turun ke pertandingan nglarak blarak bukan semata-mata untuk bertanding dan menang.

Ribowo mengatakan, mereka memiliki kebanggaan pada kearifan lokal serta jalinan kerukunan warga demi nguri-uri kabudayan (melestarikan kebudayaan lokal).

https://regional.kompas.com/read/2019/09/30/09372901/nglarak-blarak-pacuan-kereta-dengan-pelepah-kelapa-yang-mendunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke