Salin Artikel

Sebut Sriwijaya Kerajaan Fiktif, Budayawan Betawi Ridwan Saidi Terancam Dilaporkan ke Polisi

PALEMBANG, KOMPAS.com — Budayawan asal Betawi Ridwan Saidi yang menyebutkan Kerajaan Sriwijaya fiktif dalam unggahan video di kanal YouTube "Macan Idealis" berbuntut panjang.

Sebab, Yayasan Tandi Pulau yang berisi para budayawan di Sumatera Selatan akan menempuh jalur hukum terkait pernyataan tersebut.

Ketua Yayasan Tandi Pulau Erwan Suryanegara mengatakan, setelah mereka melihat tayangan YouTube yang disebarkan pada 23 Agustus 2019 tersebut, ada dugaan unsur kesengajaan dari pihak pengelola akun untuk mendapat pundi-pundi rupiah dengan menyebarkan video itu.

Pengunggah video, menurut Erwan, ingin mendapatkan viewer tinggi serta subscriber yang banyak dengan membuat pernyataan kontroversial tentang Kerajaan Sriwijaya.

"Karena ini ada kejahatan yang digolongkan ITE, karena ada yang menyebarkan berita bohong, hoaks, tanpa data-data ilmiah, data valid, kami lihat ada celah ke sana, tentu ke ranah hukum. Tujuan kami adalah agar video yang tidak benar itu nanti dihapus oleh pihak YouTube," kata Erwan setelah menggelar rapat bersama Dinas Kebudayaan Palembang, Selasa (27/8/2019).

Erwan meminta pihak pengelola kanal YouTube "Macan Idealis" agar segera menghapus unggahan video tersebut karena dapat menyesatkan sejarah tentang Kerajaan Sriwijaya.

Selain itu, pemilik kanal YouTube dan Ridwan Saidi pun harus membuat video baru yang menyertakan permohonan maaf mereka.

Yayasan Tandi Pulau, menurut Erwan, juga akan membuat video yang diunggah ke YouTube dengan menampilkan seluruh data artefaktual arkelogis, hasil temuan ilmiah para arkeolog, baik dari Sumatera Selatan maupun secara nasional, yang terkait dengan Sriwijaya.

"Kata-kata atau pernyataan bahwa Sriwijaya itu fiktif dan Sriwijaya itu hanya suatu bajak laut sebenarnya pernyataan ngawur, pernyataan yang tidak mendasar, tanpa memiliki data yang ilmiah," ujar Erwan.

Ridwan Saidi pun, menurut Erwan, bukan seorang seniman yang dapat menceritakan soal Kerajaan Sriwijaya karena tak memiliki kapasitas apa pun, baik itu kajian bukti ilmiah maupun pembuktian yang lain.

"Pak Ridwan Saidi atau Babe itu setahu saya adalah wartawan senior yang sudah pensiun dan sebenarnya tidak punya kapasitas untuk membicarakan Sriwijaya," katanya.

"Tapi oleh si yang mewawancarai dia (Ridwan Saidi) ditanya, tentu dia akan menjawab. Tentu sebisanya, tanpa dikaji ilmiah dengan menggunakan pengetahuan ingatannya yang sudah mulai sepuh, linglung. Akhirnya, muncullah pernyataan itu," ucap Erwan.

Sebelumnya, peneliti Balai Arkeologi Sumatera Selatan Retno Purwati saat dikonfirmasi mengatakan, pernyataan Ridwan tersebut tak memiliki dasar yang jelas.

Sebab, menurut Retno, banyak bukti sejarah yang menunjukkan adanya Kerajaan Sriwijaya.

"Buktinya apa (menyebut Kerajaan Sriwijaya fiktif) coba tunjukkan," kata Retno, Senin (26/8/2019).

Retno menerangkan, buku dari peneliti seluruh negeri banyak membahas soal Kerajaan Sriwijaya.

Selain itu, prasasti Kerajaan Sriwijaya juga ditemukan.

"Pada zaman Belanda juga sudah disebutkan mengenai Kerajaan Sriwijaya. Bahkan, sampai sekarang masih jadi perebutan soal kota Sriwijaya. Kalau fiktif, kenapa harus diperebutkan," ujarnya.

Terpisah, sejarawan Sumsel Vebry Al Lintani menyebutkan, ucapan Ridwan merupakan pendapat pribadi tanpa didukung dengan fakta sejarah.

"Kami tidak tahu apa maksud dan tujuannya mengatakan demikian. Menurut saya, itu pendapat pribadi," kata Vebry.

Vebry pun mengungkapkan, berdirinya Kerajaan Sriwijaya bisa dilihat dari prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, dan Telaga Batu. Seluruh prasasti itu sudah ada sejak abad ke-7 Masehi.

"Ada juga catatan sejarah peninggalan I-Tsing atau Yi Jing, seorang biksu dari Tiongkok, dalam bukunya Nanhai yang menyebutkan pernah singgah ke Kerajaan Sriwijaya. Artinya jelas ada dan besar (Kerajaan Sriwijaya)," ucapnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/08/28/11252581/sebut-sriwijaya-kerajaan-fiktif-budayawan-betawi-ridwan-saidi-terancam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke