Salin Artikel

Kisah Mbah Paerah, Usia 85 Tahun Mulai Tuli dan Sulit Bicara, Semangat Tak Padam Bekerja Jadi Kuli Gendong...

MAGETAN , KOMPAS.com  -  Mbah Paerah (85) terkantuk kantuk dengan bersandar pada sebuah pohon di selasar Pasar Wage  Kabupaten Magetan Jawa Timur setelah sejak pukul 03:00 dini hari beraktivitas sebagai kuli gendong.

Pukul 09:00 WIB bersama kuli gendong lainnya biasanya mereka berkumpul di selasar pasar bagian Selatan untuk menunggu jemputan pulang.

Berbincang dengan Mbah Paerah harus dengansedikit berteriak karena pendengarannya sudah mulai berkurang. Suaranya pun lebih banyak seperti bisikan yang sulit dipahami.

“Sudah tuli dan susah bicara itu, mas. Kalau ngomong harus kencang,” ujar Mbah Jumirah (64) sesama kuli gendong, Kamis  (11/07/2019).

Yang menggunakan jasa  gendong Mbah Paerah biasanya hanya pedagang sayur keliling yang sedang mengambil dagangan di pasar Sayur Magetan.

Barang yang dibawa Mbah Paerah juga tidak terlalu berat , hanya bungkusan  tahu, mie instan atau sayuran yang dibungkus plastik.

Mbah Paerah adalah warga Desa Selotinatah, Kabupaten Magetan. Menurut Mbah Jumirah, ia memiliki beberapa orang  anak yang merantau di luar kota.  

Kebiasaan bekerja keras di masa muda membuat Mbah Paerah enggan berada di rumah. Hasil dari bekerja sebagai kuli gendong digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari Mbah Paerah.

"Dulunya penjual gula di pasar sini, sekarang jadi kuli gendong. Kalau jadi kuli gendongnya sudah lama sekali, berapa tahunnya saya tidak tahu, lama sudah itu,” imbuh Mbah Jumirah.

Pendapatan kecil

Di Pasar Sayur Kabupaten Magetan terdapat puluhan penjual jasa gendong, baik laki laki maupun perempuan.

Terdapat dua area yaitu area pasar sayur yang terletak di bagian utara pasar di mana barang yang diturunkan biasanya berupa sayur mayur, sementara di bagian Selatan atau area pasar wage biasanya barang yang diturunkan adalah buah-buahan.

Mirah (35), salah satu kuli gendong selama 15 tahun terakhir mengaku bisa membawa pulang Rp 30.000 per hari.

Pendapatan tersebut masih dikurangi untuk ongkos berangkat ke pasar dari rumahnya di Desa Ngariboyo sebesar Rp 10.000. 

Itupun masih dikurangi untuk membeli beras sebesar Rp 10.000 untuk dibawa pulang.

“Yang Rp 10.000 untuk jajan anak-anak di rumah. Dapat Rp 30.000 itu sudah banyak,” katanya.

Sejumlah kuli gendong tiba tiba berhambur ketika melihat seseorang membawa nasi bungkus dan membagikan kepada mereka.

Beruntung Mirah mendapat sebungkus nasi yang berlauk ikan untuk dibawa pulang.

“Lumayan kalau dapat nasi bungkus, bisa sarapan. Kalau enggak ada yang bagi ya nunggu sampai di rumah baru bisa makan,” imbuhnya.

Jika Mirah bisa mendapatkan Rp 30.000 sehari, kuli gendong seperti Mbah Jumirah dan Mbah Paerah dipastikan lebih sedikit.

Mbah Jumirah mengaku tidak bisa memastikan pendapatannya sehari. Jika bertemu dengan pelanggan yang baik hati dia  bisa membawa pulang uang Rp 20.000 rupiah ke rumah.

“Kalau pelanggan yang bagus kadang dikasih Rp 5.000 sekali gendong. Umumnya memang upahnya Rp 2.000 sekali gendong,” katanya.

Kerja Sampingan

Dari sebagain yang menjalani pekerjaan sebagai  buruh gendong  memang bukan sebagai pekerjaan utama.

Beberapa di antaranya turun ke pasar setelah pekerjaan membantu suami di sawah telah selesai. Rukiyem salah satunya.

“Kalau musim kemarau begini tidak ada yang dilakukan di sawah. Ya jadi kuli daripada di rumah,” ujarnya.

Meski terdengar samar saat diajak bicara oleh Kompas.com, Mbah Paerah mengaku akan tetap bekerja sebagai kuli gendong di pasar Wage Magetan selama kakinya bisa melangkah.

“Iya, mau kerja terus,” ujarnya terseyum lebar.

https://regional.kompas.com/read/2019/07/12/09205291/kisah-mbah-paerah-usia-85-tahun-mulai-tuli-dan-sulit-bicara-semangat-tak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke