Salin Artikel

Menjaga Toleransi di Tenjowaringin Tasikmalaya

Sejumlah siswa dan guru keluar ruangan. Ada yang ke toilet, berganti pakaian olah raga, atau hanya mengobrol di dalam kelas.

Di antara mereka terlihat Mufid Ahmad Yusuf (18) dan Taufik Hidayat (17). Mereka tengah asyik mengobrol dan tertawa sambil menyiapkan buku pelajaran.

“Taufik itu pecicilan, enggak bisa diam, anaknya rame, jadinya cepat akrab,” ujar Mufid kepada Kompas.com, belum lama ini.

Taufik baru sekolah di SMA Al-Wahid satu tahun. Ia dipindahkan dari Makassar karena dinilai nakal oleh sang ayah. Awalnya Taufik menolak. Namun baru beberapa minggu di Al-Wahid ia merasa betah.

“Sekarang udah enggak nakal lagi. Apalagi ada sahabat saya ini, Mufid dan beberapa orang lainnya,” ucap Taufik sambil terkekeh.

Kedekatan Taufik dengan Mufid dan beberapa teman lainnya tidak hanya berlangsung di sekolah. Di luar sekolah mereka kerap belajar dan bermain bersama.

“Seringnya main PS, apalagi kalau dah suntuk belajar. Kadang saya juga nginap di tempatnya Mufid,” tutur Taufik yang berharap sahabatnya itu ikut kuliah di Yogyakarta bersama dirinya.

Bukan hanya Mufid dan Taufik, persahabatan lainnya terjalin di sekolah ini, seperti yang dialami Amatul Shaffa (17) dan Shifa Risnasari (17).

“Kami satu SMP, tapi baru bersahabat pas SMA. Dari kelas 1 kami sebangku,” ungkap Shaffa.

Mereka cukup terkenal di sekolah. Di mana ada Shaffa di situ pasti ada Shifa, dan itu terjadi pula di luar sekolah. Keduanya kerap bermain bersama, saling curhat, dan berkunjung ke rumah masing-masing.  

SMA Al-Wahid memiliki 256 siswa terdiri dari warga Ahmadi dan non Ahmadi. Para siswa bersahabat satu sama lain, seperti yang terjadi pada persahabatan Mufid dan Taufik maupun Shaffa dan Shifa.

Sama seperti sekolah lainnya, mereka mengikuti kurikulum nasional 2013.

“Sekolah kami terbuka untuk umum. Siapa pun boleh sekolah di sini,” ujar Kepala SMA Al Wahid Luki Abdurrahman.



Tim voli

Persahabatan warga juga terjadi di tim voli Tenjowaringin. Harmonisnya persahabatan mereka didukung oleh kondisi alam Tenjowaringin yang indah. Air sungai yang selalu mengalir, rerimbunan pepohonan, hingga hijaunya pesawahan.

Jika tidak berkegiatan, suasana alam ini akan membuat orang malas gerak (mager). Itulah mengapa, warga Tenjowaringin sangat menyukai voli.

“Harus sehat, harus berkeringat,” ujar Opik, salah satu tim voli.

Opik menceritakan, setiap hari ia dan timnya latihan dari pukul 15.30-17.30 WIB. Ia nyaris tak pernah absen, begitu pun dengan sahabat-sahabatnya.

“Apalagi sekarang lagi ada kompetisi, jadi enggak boleh absen latihan,” ucapnya.

Warga Tenjowaringin sangat menyukai voli. Hampir setiap kampung memiliki klub voli dengan nama yang unik. Misal, Galapa, yang artinya Gabungan Lapang Bangkrut.

Berbagai klub ini akan bersuka cita ketika marag tiba. Marag adalah hari di mana tim kampung bertemu untuk bertanding.

Saat marag, semua warga berkumpul. Baik itu laki-laki atau perempuan, tua ataupun muda bahkan anak kecil, mereka berkumpul bersama menonton dan menyemarakkan marag.

Marag tidak hanya digelar di satu tempat. Ada yang namanya kunjungan balasan. Marag pun tidak dibatasi tim putra ataupun putri. Semua sama. Tim putra maupun putri bebas berpartisipasi.

“Makanya kami rajin latihan. Kami berusaha untuk menang,” tutur Risman, sahabat Opik yang juga anggota tim voli.



Kegiatan bersama

Voli memang menjadi program andalan dari Desa Tenjowaringin. Bagi desa ini, voli menjadi salah satu ajang silaturami dan alat pemersatu warga Tenjowaringin.

Selain voli, ada beberapa kegiatan bersama yang dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahim. Mulai dari kerja bakti, memperbaiki jalan, dan kegiatan sosial lainnya.

Jafar Ahmad, warga Tenjowaringin yang juga mubaligh Masjid Baitus-Subhaan mengatakan, gotong royong bisa mencairkan suasana.

Seperti saat gotong royong memperluas jalan Sukarasi-Gunung Tilu, keharmonisan warga sangat terasa. Hubungan antarwarga yang tadinya sempat canggung dan renggang kembali cair.

Hal serupa disampaikan Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tenjowaringin, Munawarman. Ia mengungkapkan, interaksi warga pascakonflik tahun 2005 dan 2013 sudah kembali mencair.

“Sama seperti sebelum konflik tahun 2005 dan 2013, interaksi warga kembali cair. Warga saling membantu jika ada yang membangun rumah, ronda bersama, botram, voli, dan kegiatan lainnya,” ungkapnya.

Desa Tenjowaringin merupakan satu dari 12 desa di Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jumlah penduduknya mencapai 5.600 orang yang didominasi Ahmadiyah.

“Penduduk kami muslim semua. Dari 5.600 orang, 80 persen di antaranya Ahmadiyah,” tuturnya.

Pada tahun 2005 dan 2013, sempat terjadi konflik di desa ini. Konflik tahun 2005 tidak lepas dari kondisi nasional yang menentang keberadaan Ahmadiyah.

Kemudian 2013, terjadi konflik akibat pemilihan kepala desa. Tahun itu, terjadi perusakan rumah yang dilakukan sekelompok orang yang didominasi warga luar desa. Hal ini membuat interaksi warga terganggu.

Berjalannya waktu, interaksi warga kembali mencair seperti sediakala. Mereka guyub antara satu dengan yang lainnya.

“Memang, masih ada yang terkadang kaku. Tapi semua cair setelah bersama berkegiatan sosial,” ucapnya.

“Kami akan selalu berupaya membuat desa ini harmonis dengan menjaga toleransi,” pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/11/16/11281161/menjaga-toleransi-di-tenjowaringin-tasikmalaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke