Salin Artikel

Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (4)

Pementasan wayang kulit menjadi salah satu hiburan rakyat, selain kesenian ludruk dan saronen di Madura. Warga yang menonton tidak hanya orang tua. Anak-anak juga biasanya ikut bersama dengan orangtuanya.

Tontonan berlangsung hingga larut malam untuk menuntaskan satu episode cerita wayang. Namun keramaian ini sekitar 30 tahun lalu. Kini tak ada lagi pemandangan serupa di wihara.

Seingat Kosala, pementasan wayang Madura terakhir kali pada tahun 2010 silam di saat pagelaran budaya bertajuk Semalam di Madura. Saat itu, grup wayang satu-satunya di Madura itu banyak ditonton masyarakat Madura. Bahkan wisatawan mancanegara juga ikut menonton. Banyak orang heran karena ada pentas wayang berbahasa Madura.

"Ternyata di Madura ada wayang juga. Ini pertama saya melihatnya," tutur Kosala menirukan ucapan salah satu penonton waktu itu. Namun semenjak itu, tak pernah ada lagi pementasan wayang di Madura.

Meninggalnya dua dalang yang hampir bersamaan itu menyebabkan Madura vakum dalang wayang kulit. Kekosongan dalang ini terjadi dalam kurun waktu dari tahun 2001 sampai 2003. Pentas wayang kulit Madura pun matu suri.

Novem Ali Sahos Sudirman (48), warga Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, merasa terpanggil untuk meneruskan warisan Ki Loncet, warga Desa Blumbungan, dan Abdul Kadir, ayah kandung Novem Ali Sahos Sudirman sendiri.

Sudirman ingin menjadi dalang meneruskan pekerjaan ayahnya. Tahun 2003, Sudirman masih berusia 33 tahun. Ia belajar siang malam secara otodidak. Sebab ia tidak pernah diwarisi apapun oleh ayahnya.

PAMEKASAN, KOMPAS.com – Tujuh tahun berjalan, Novem Ali Sahos Sudirman (48) atau dikenal dengan Ki Sudirman, satu-satunya dalang berbahasa Madura meninggalkan dunia pewayangan.

Bukan tanpa alasan pria asal Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, meninggalkan dunia wayang. Ia ingin hidup seperti keluarga yang lain. Ia punya anak yang harus dibiayai pendidikannya. Ia punya istri yang harus dibiayai hidupnya. Sementara di dunia wayang, tidak ada jaminan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Pilihan meninggalkan dunia wayang, sudah dilalui Ki Sudirman dengan kontemplasi panjang. Menurut Ki Sudirman, masalah pelestarian kesenian dan kebudayaan, bukan masalah pribadi. Melainkan masalah semua umat manusia. Sedangkan kehidupan keluarganya, menjadi tanggung jawab pribadinya.

“Nasib keluarga saya siapa yang nanggung? Di dunia wayang saya belum menemukan kebahagiaan material karena ekonomi keluarga morat-marit,” ujar Ki Sudirman, Jumat (2/3/3017).

Setelah meninggalkan dunia wayang, Ki Sudirman beralih profesi ke penyiar radio swasta di Pamekasan. Profesi itu dijalaninya selama kurang lebih empat tahun. Empat tahun berjalan, Ki Sudirman mulai tidak nyaman di tempat kerjanya. Akhirnya ia memutuskan diri untuk resign.

Ia memilih bekerja di salah satu bank daerah di Pamekasan. Pekerjaan lainnya, ia menggagas berdirinya koperasi Usaha Kecil Menengah (UKM) milik masyarakat yang biasa berjualan di area car free day (CFD).

Selama bekerja di bank, Ki Sudirman semakin tidak menemukan kenyamanan. Sebab aturan di bank sangat ketat. Ia harus bekerja dari pagi sampai sore tepat waktu. Disiplin tinggi yang diterapkan perusahaan, membuatnya sulit bertahan. Akhirnya, Ki Sudirman berhenti bekerja di bank dan fokus di kegiatan koperasi CFD.

“Bekerja di bank itu sudah bukan untuk makan, tetapi makan untuk bekerja. Seakan-akan tubuh ini sudah tidak ada martabatnya lagi, karena hanya dimanfaatkan untuk bekerja terus menerus,” kata pria kelahiran 9 November 1969 ini.

Perjalanan hidup bagi Ki Sudirman dirasakan sangat singkat. Anaknya sudah bisa menempuh pendidikan layaknya anak-anak yang lain. Kehidupan keluarganya sudah tidak morat-marit lagi. Meskipun tidak kaya, namun Ki Sudirman merasakan kecukupan dalam keluarganya. Istrinya sudah punya usaha mandiri.

“Usia saya sudah tua. Untuk mengejar kehidupan demi kekayaan harta, saya hitung sudah tidak mampu lagi. Sehingga saya ingin kembali lagi ke dunia pewayangan,” ungkap Ki Sudirman.

Keputusan untuk kembali ke dunia pewayangan itu, bagi Ki Sudirman, du dunia wayang ia menemukan kebahagiaan batin meskipun tidak menemukan kebahagiaan material. Kebahagiaan material, sudah ia pasrahkan kepada ilahi. Ia ingin melestarikan kebudayaan warisan leluhurnya. Ia sudah banyak bertemu dengan beberapa komunitas seniman di Pamekasan dan Madura, yang memiliki kemitmen untuk pelestarian seni dan budaya.

“Saya ingin mencari generasi baru yang siap belajar menjadi dalang. Saya akan memberikan waktu sebanyak-banyaknya demi lahirnya generasi baru. Kalau perlu siang-malam saya akan membagi ilmu kepadanya,” katanya.

Untuk melahirkan dalang baru berbahasa Madura, kesulitan sudah tampak di mata Ki Sudirman. Sebab dalang bahasa Madura berbeda dengan dalang Jawa. Jika dalang Jawa, siapapun kelompok karawitannya sudah langsung bisa memainkan wayang. Namun dalang bahasa Madura, harus bisa meracik sendiri gending yang akan dimainkan, sesuai dengan plot cerita yang akan ditampilkan wayang.

“Tapi saya yakin dan pasti, akan ada penerus dalang baru nanti. Saya saja dulu tanpa berguru kepada dalang secara langsung masih bisa,” tandasnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/03/05/10345381/wayang-kulit-madura-hidup-segan-mati-tak-mau-4

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke