Salin Artikel

Menenun Kehidupan di Bawah Kolong Rumah Panggung...

Dengan cekatan, jari perempuan bernama Odalia Biba (50) ini memasukkan benang di sela-sela kain tenunnya. Matanya fokus pada kain tenun. Ia pun terlihat serius menyelesaikan kainnya. 

Mama Odalia, biasa ia disapa, merupakan perempuan Kampung Bui, Desa Kaju Wangi, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setiap hari, ia menenun kehidupan di bawah kolong rumahnya, Senin (29/1/2018).

Kehidupan yang dimaksud adalah menenun kain khas Riung, Kabupaten Ngada dan Nagekeo di wilayah Kabupaten Manggarai Timur.

Kaum perempuan di wilayah itu menenun kain khas Ngada dan Nagekeo karena persoalan pemasaran. Kain itu lebih mudah dijual di dua kabupaten itu dibanding Kabupaten Manggarai Timur dan Manggarai. Walaupun sebenarnya, mereka orang Manggarai Timur.

Usia boleh beranjak tua, tetapi semangat untuk melanjutkan kehidupan dengan menenun kain tenun terus dilakukan, walaupun di bawah kolong rumah. 

Penopang Hidup

Kain tenun, merupakan penopang kehidupan perempuan di kampung-kampung Desa Kaju Wangi. Biaya hidup, sekolah, berasal dari tenun. Kain ini pula yang membuat perempuan di kampung desa tersebut memiliki kegiatan, ketika tidak ada pekerjaan di ladang.

Perempuan di desa tersebut multitasking. Terkadang, mereka membantu kaum adam di ladang. Jika ada waktu luang, mereka mempertahankan tradisi nenek moyang mereka dengan menenun. Hal itupun dilakukannya sembari memasak dan mengerjakan pekerjaan lainnya.

"Saya menenun di waktu senggang apabila tidak sedang bekerja di ladang bersama suami dan keluarga," ujar Odalia Biba atau Halima kepada Kompas.com, Senin (29/1/2108).

Dalam sebulan, Odalia menghasilkan empat kain tenun khas Mbay dan Riung. Kain tersebut merupakan warisan leluhur.

"Saya belajar menenun dari mama saya karena dengan menenun mampu membiayai kebutuhan hidup keluarga serta membiayai pendidikan anak-anak sampai di Perguruan Tinggi," tuturnya. 

Di pagi hari, Odalia memasak dan menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya. Selain itu, ia juga menimba air minum untuk keperluan masak di rumah. Setelah semua pekerjaan beres, ia melanjutkan tenun di bawah kolong rumah panggung.

“Sewaktu kecil, saya sering melihat mama saya menenun kain tenunan. Pertama-tama saya melihat mama menenun. Setelah itu mama memberikan semangat agar saya belajar menenun," ungkapnya.

Kemudian sang ibu mengajarkan cara menenun dan memraktekkannya langsung. Hingga ia besar dan belum menikah, sang ibu kerap duduk di sampingnya untuk melihatnya menenun. 

Zaman dulu, syarat seorang perempuan bisa menikah apabila bisa menenun. Itu merupakan syarat adat yang diwariskan leluhur serta orangtua di kampung-kampung di Kecamatan Elar maupun di wilayah kedaluan Rembong dan Biting. 

Kemudian anak mantu Mama Odalia Biba menunjukkan hasil tenunan dari mama mantunya kepada Kompas.com. Kain tenun bermotif Nagekeo dan Ngada.

“Warga kampung Bui, Desa Kaju Wangi menenun kain bermotif Ngada dan Nagekeo tidak terlalu susah serta pemasaran cepat di Kabupaten Ngada dan Nagekeo. Harga pasarannya bagus dan banyak permintaan dari Kabupaten Ngada dan Nagekeo," ungkapnya, 

Bahkan, banyak warga yang memiliki pelanggan tetap. Pembeli biasanya datang ke penenun, memborong kain dengan harga yang lumayan besar.

Mama Odalia menjelaskan, harga kain tenun Ngada dan Nagekeo bervariasi tergantung kerumitan motif yang dipesan. Biasanya, harga yang ditawarkan berkisar Rp 200.000 hingga Rp 1 juta, untuk kain berukuran 2x4 meter. 

Tua Teno Kampung Bui, Desa Kaju Wangi, Geradus Kandang bersama anaknya, Siprianus Dosis menjelaskan, perempuan di desanya turut membantu perekonomian keluarga lewat tenun. "Mereka tidak bersandar sepenuhnya pada penghasilan suami mereka,” jelasnya.

Nyali Besar

Menjelajahi Kecamatan Elar dan Elar Selatan bukan perkara mudah. Dibutuhkan keberanian yang besar untuk melakukannya.

Hal itu dikarenakan infrastruktur jalan raya di wilayah Elar dan Elar Selatan di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT yang masih minim. Hanya sopir yang bernyali besar dan keberanian tinggi yang mampu menjelajahi seluruh desa di kawasan itu.

Apalagi saat musim hujan tiba. Seluruh jalan di pelosok-pelosok desa dan kampung penuh dengan lumpur karena infrastruktur jalan masih tanah.

Ini merupakan suatu tantangan berat bagi seorang sopir dari wilayah itu ketika mengantar penumpang dari dan ke Kota Borong maupun Ruteng.

Seorang sopir yang membawa Kompas.com, Benediktus Adeni menjelaskan, jalan di sana medannya berat. Lumpur dan jalan berlubang menyebar di seluruh pelosok Kecamatan Elar dan Elar Selatan.

“Saya sudah beberapa kali mengantar tamu dan jurnalis untuk meliput wilayah itu. Namun, sampai saat ini belum ada perubahan yang maksimal serta belum ada perhatian serius dari pemerintah setempat,” jelasnya. 

https://regional.kompas.com/read/2018/02/06/09445531/menenun-kehidupan-di-bawah-kolong-rumah-panggung

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke