Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Monyet Belanda Hanya Ditemui Pagi dan Sore?

Kompas.com - 01/04/2017, 15:20 WIB
Dani Julius Zebua

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com - Kawanan monyet ekor panjang dengan bulu keemasan berkeliaran di antara pucuk-pucuk pohon bakau di tepi Sungai Somber di Balikpapan, Kalimantan Timur, menjelang petang. Beberapa dari monyet itu memiliki hidung panjang seperti buah terong.

Orang Balikpapan menyebutnya monyet Belanda atau bekantan. Sementara dalam Bahasa Inggris disebut proboscis monkey (Nasalis Larvatus).

Kelebatan hutan bakau Somber di Teluk Balikpapan, menyembunyikan kawanan itu. Bekantan muncul sesekali di tepi mangrove dekat perairan saat pagi dan sore, namun siang menghilang lagi. Karenanya warga sering menemukan mereka di pagi atau sore saja.

"Pagi dan sore untuk makan. Siang hari istirahat," kata Umardini, warga Kelurahan Gunung Samarinda, Balikpapan, Sabtu (1/4/2017).

Rata-rata warga mengungkap serupa. Timbullah kesan, bekantan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur siang. Seperti halnya Wibisono, warga Perumahan Graha Permata di Jalan Diponegoro. "Pagi sore cari makan. Siang hari masuk hutan karena mungkin tidak suka panas," kata Wibisono.

Tomas Koubek PhD, seorang ahli botani asal Charles University di Praha, Republik Ceko, menemukan keterkaitan erat antara kemunculan bekantan di pesisir dengan pola makan monyet ini.

Kawanan bekantan menghilang sepanjang siang hingga sore atau menjelang petang. Kebiasaan ini bukan untuk bersembunyi, atau malu bertemu manusia.

Baca juga: Foto Sambil Pegangi Bekantan Terkulai, Enam Pemuda Akhirnya Diamankan

Bekantan menghabiskan sebagian besar waktunya setiap hari untuk mencari makan. Mereka menyukai daun sangat muda dari beberapa jenis mangrove, dengan protein tinggi, sedikit serat, dan rasanya tidak asin.

"Bekantan mencari kandungan protein tinggi, serat rendah, dan tidak menyukai terlalu asin," kata Tomas.

Daun yang mereka inginkan itu ada di hutan terdalam seperti di Kabupaten Penajam Paser Utara dan tersebar tak beraturan di wilayah Balikpapan.

"Jaraknya bisa sangat jauh (beberapa kilometer dari tepi mangrove pesisir) ke dalam," kata Tomas, dalam sebuah diskusi terbuka di kantor Forum Pemerhati Teluk Balikpapan di Balikpapan, belum lama ini.

Mencari makan ke dalam hutan yang lebih dalam diyakini sebagai bagian dari perubahan perilaku akibat kerusakan kawasan di pesisir. Area pakan alami bekantan di pesisir berubah akibat industrialisasi, pertumbuhan pemukiman, dan tambak.

Rasa dan kandungan gizi pada daun mangrove di pesisir pun bervariasi, mulai baik untuk dimakan hingga tidak cocok bagi bekantan.

Tomas meneliti di Teluk Balikpapan, utamanya di Desa Gresik, PPU, selama sebulan. Penelitiannya dilakukan bersama beberapa peneliti Institut Pertanian Bogor 2 tahun lalu.

Mereka mengambil 54 sampel daun yang biasanya pula jadi pakan bekantan. Mereka mengklasifikasi dalam 36 spesies mangrove.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com