Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pencari Tiram di Tengah Gempuran Rob

Kompas.com - 19/01/2017, 13:15 WIB
Ari Widodo

Penulis

DEMAK,KOMPAS.com - Angin laut yang berhembus kencang dan air laut pasang (rob) yang mengelilingi hunian, bukan hal baru bagi kehidupan Nasikin (55) dan Warsipah (45).

Selama satu dasawarsa, keluarga pencari tiram ini terpaksa menempati rumah yang sudah  tak layak huni. Rob yang kerap melanda, membuat air masuk ke dalam rumah hingga ketinggian mencapai jendela. Tetapi mereka tetap setia bertahan di rumahnya yang masuk wilayah dukuh Nyangkringan, RT 6 RW 2, Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung , Kabupaten Demak, Jateng.

"Sebagai manusia, ya keinginan untuk pindah selalu ada Mas, tapi terbentur biaya, makanya meski kondisi begini kami tetap bertahan," kata Nasikin, kepada Kompas.com, Kamis (19/1/2017).

Di rumah inilah, Nasikin membesarkan ketiga anaknya, Bambang Supriyanto (28), Agus Muslim (19) dan Siti Nur Khofifah ( 16 ).

Mata pencaharian utamanya sebagai pencari tiram yang menempel di puing rumah tetangga. Rumah mereka memang sudah enam tahun ini ditinggalkan.

Pekerjaan yang sudah digeluti selama bertahun-tahun ini memang tidak terlalu menjanjikan karena tidak setiap hari ia mendapatkan hasil sesuai harapan.

"Alhamdulillah, tetap saya syukuri meski tidak tiap hari dapat tiram. Kalau pas banyak sih sehari bisa dapat 2-3 kilogram. Per kilonya Rp 25.000," ucap lelaki gempal berkulit tembaga ini dengan mantap.

Dirinya hanya mengkhawatirkan si bungsu, Siti Nur Khofifah, yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di kelas X, SMKN 1 Sayung.

"Kasihan Mas, kalau berangkat dan pulang sekolah lewat titian bambu. Teman sebayanya juga tidak ada, pada pindah, jadi kalau di rumah dia cuma dengan keluarga bantu-bantu ibunya," ucap Nasikin.

Memang, ombak besar akibat reklamasi pantai yang terus menerus menghantam permukiman penduduk ini membuat tembok rusak. Sedikit demi sedikit warga pun meninggalkan rumahnya yang makin dalam tergenang air laut.

Hanya rumah Nasikin di ujung barat Dukuh Nyangkringan inilah yang menjadi "benteng" terakhir sekaligus monumen bahwa sebelumnya di lokasi tersebut pernah ada permukiman dan peradaban yang tergerus ombak.

Meski sulit, Nasikin dan keluarganya tetap bertahan dalam serbuan rob tiap hari datang menerjang.

"Gelombang kadang tinggi. Masuk rumah. Kalau besar, menghantam dinding bisa sampai hancur. Rumah ini sudah saya baturv(ditinggikan dengan cara menimbun tanah padas atau pasir gunung) sampai tiga kali, tapi tetap saja kalau rob datang masuk ke rumah," jelasnya.

"Biasanya rob datang jika sore hari. Pasang air laut akan semakin besar jika di wilayah lain terjadi gempa," tambah dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com