Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cegah Bencana Alam, Penghayat Adat Diusulkan Tinggal di Dekat Sungai

Kompas.com - 12/10/2016, 20:15 WIB
Irwan Nugraha

Penulis

TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengajak para penghayat adat untuk bisa bermukim di hulu dan sepanjang bantaran sungai di seluruh Jawa Barat.

Langkah ini diyakininya akan mampu menjaga keseimbangan alam dan menghindarkan masyarakat dari bencana akibat kerusakan lingkungan.

"Kerusakan alam yang menyebabkan terjadinya bencana selama ini akibat adanya perubahan prilaku manusia, pergeseran keyakinan tentang pengetahuan menjaga lingkungan dan faktor kebutuhan. Contohnya, areal hutan dijadikan perkebunan karena kebutuhan ekonomi," jelas Dedi kepada Kompas.com, Rabu (12/10/2016).

Ide itu diakuinya tercetus seusai melakukan diskusi bersama ahli Vulkanologi Professor Surono di Garut, kemarin. Selama ini, penghayat adat yang diketahui mengenal lingkungan dan mampu menjaga kelestarian alam seakan terpinggirkan akibat bertentangan dengan pemahaman masyarakat umumnya selama ini.

Para penghayat adat biasanya memiliki aturan tak diperbolehkan menggunduli pohon-pohon di hutan karena bertentangan dengan ajaran para leluhur mereka sebelumnya.

"Tujuan para terdahulunya atau leluhurnya mengajarkan jangan menggunduli pohon hutan yakni supaya hutan tak gundul dan mencegah longsor serta banjir," kata dia.

Dedi menambahkan, faktor akibat kebutuhan masyarakat selama ini dinilai menjadi tugas negara melalui pemerintahan untuk menggeser kebiasaan dan mengubah perilaku hidup manusia yang melakukan penggundulan hutan untuk dijadikan perkebunan.

Salah satunya dengan cara mengubah tata cara berkebun dengan menanam dan memelihara pohon. Kebutuhan mereka diupayakan terpenuhi dulu dengan biaya dan memelihara pohon selama lima tahun oleh pemerintah.

"Mengembalikan lagi perkebunan yang dulunya hutan menjadi hutan kembali. Setelah lima tahun pohon tumbuh lagi, mereka akan berubah jadi pengelola kawasan pariwisata berbasis alam dan peternakan berbasis alam milik sendiri untuk memenuhi kebutuhannya," jelas Dedi.

Menurut Dedi, pinggir hutan bisa jadi wisata dengan pola rumah bambu. Pengelolanya adalah anak-anak penghayat adat.

"Mereka (anak-anak penghayat adat) menjadi pengelola wisata itu dan dibekali pendidikan mumpuni minimal bisa bahasa Inggris. Wisata itu jadi rumah mereka sendiri. Dan, penduduk yang dulunya berkebun akan mampu memiliki cottege," tambah dia.

Menurutnya, langkah itu akan lebih mudah dan murah biayanya daripada pemerintah menggelontorkan dana hanya untuk rencana recovery hutan yang telah menjadi perkebunan selama ini. Dengan cara tersebut, alam akan terjaga dan mencegah bencana alam longsor dan banjir.

"Rumah panggung paling habis dana rata-rata Rp 100 juta dan bisa bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan mereka nantinya selamanya. Nah, para petani perkebunan itu didata dengan baik dan dilakukan perubahan kebiasaannya. Contoh di Garut saja sekarang kan pariwisata alamnya sudah berkembang," ungkap dia. 

Dengan demikian, Provinsi Jawa Barat yang diketahui peringkat pertama daerah rawan bencana di Indonesia diharapkan akan mampu memperbaiki lingkungannya. Salah satunya dengan diawali dengan menggerakkan kembali para penghayat lingkungan. Mereka memiliki komitmen menjaga dan merawat hutan serta sungai selama ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com