Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dituduh Tempati Lahan Tanpa Izin, Kakek Pembuat Kunci Duplikat Digugat Rp 1 Miliar

Kompas.com - 09/09/2015, 18:47 WIB
Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Gara-gara dituduh menempati lahan seluas 20 meter persegi tanpa izin, Budiyono (58) yang sehari-hari berprofesi sebagai pembuat kunci duplikat di kawasan Gondomanan, Yogyakarta, menghadapi gugatan sebesar Rp 1 miliar.

Saat ditemui Kompas.com, Budiyono menuturkan, pada 20 Agustus lalu, dia mendapatkan surat dari Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta. Surat itu berisi gugatan karena menggunakan tanah yang ditempatinya sebagai lokasi usaha. "Saya dan empat orang lain yang menempati tanah ini dituduh tidak memiliki izin," ujar Budiyono, Rabu (9/9/2015).

Kakek seorang cucu ini mengatakan, masalah lahan ini sudah muncul pada 2011. Seorang pengusaha bernama Eka Aryawan mengklaim telah memiliki surat kekancingan atau surat pinjam pakai tanah milik Keraton Yogyakarta untuk tanah yang ditempati Budiyono saat ini.

Namun, ujar Budiyono, permasalahan tanah tersebut bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan pada 2013. Tak disangka, saat ini sepucuk surat gugatan baru diterima Budiyono dan empat orang lainnya yang dituduh menempati lahan tersebut tanpa izin. "Pada 20 Agustus lalu, kami tiba-tiba digugat," kata Budiyono.

Dalam surat gugatan itu, Budiyono dan empat orang lainnya dituntut Rp 30 juta per tahun karena kerugian materiil sejak 2011 dan Rp 1 miliar untuk kerugian imaterial berupa beban pikiran, mental, dan psikis yang dialami penggugat. Selain itu, Budiyono juga dituntut membayar uang paksa sebesar Rp 1 juta sehari.

Budiyono mengaku lahan seluas 20 meter persegi itu telah ditempati pamannya sejak 1960. Setelah pamannya meninggal dunia, sepetak tanah itu diberikan kepada dia yang kemudian digunakannya untuk membuka usaha membuat kunci duplikat.

Kini, lahan itu juga digunakan empat orang lainnya untuk membuka usaha kecil secara bergantian. Keempat orang lain yang menempati lahan tersbeut adalah Sutinah, seorang pedagang, Agung, seorang tukang kunci, Sugiyadi yang berjualan mi, dan Suwarni.

"Ini memang tanah Mager Sari (tanah keraton), tetapi paman saya sudah menempati lahan ini sejak 1960. Paman saya bahkan punya surat izin menempati lahan dari Pemerintah Belanda yang terbit pada 1933," kata Budiyono.

Tak hanya itu, Budiyono mengaku, selama ini, dia dan empat orang lainya setiap tahun juga membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp 6.000 ke kelurahan setempat. "Saya juga bayar PBB dan kebersihan. Jadi, kenapa kami disuruh pindah? Apa karena kami ini orang kecil yang tidak tahu apa-apa?" tanya Budiyono.

Kini, pria tua itu mengaku bingung jika harus membayar gugatan sebesar Rp 1 miliar dan 1 juta per hari uang dwangsom (paksa). Sebab, penghasilan kotornya dari membuat kunci duplikat rata-rata hanya Rp 100.000 per hari. "Mau bayar pakai apa Mas? Penghasilan kotor saya sehari Rp 100.000. Saya berharap Pak Sultan dapat membantu kami agar tetap bisa menempati lahan ini," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com