Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Mereka yang Bertahan dan Mengais Rezeki di Sinabung...

Kompas.com - 24/06/2015, 09:56 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

KABANJAHE, KOMPAS.com - September nanti, sudah tiga tahun para petani sekitar Gunung Sinabung mengungsi di hunian sementara yang disediakan pemerintah. Saat erupsi pertama di tahun 2010 silam, mereka masih bisa kembali ke desa setelah dinyatakan aman.

Namun, mulai 2013 lalu, desa di empat kecamatan yang berjarak dalam radius tiga hingga tujuh kilometer dari puncak Gunung Sinabung wajib direlokasi. Di desa itu tinggal anjing dan ternak yang hidup. Lahar dingin menggunung menutup desa, tak mungkin lagi warga kembali.

Banyak yang bertahan di pengungsian dengan menggantungkan hidup dari jatah hidup sebesar Rp 6.000 per orang per hari, dan dibayar setiap tiga atau enam bulan sekali.

Ada pula yang bertahun-tahun bertahan menganggur karena tak memiliki keahlian lain selain bertani. Jika mereka biasa bekerja sebagai buruh harian dengan upah Rp 50.000 hingga Rp 70.000 per hari, persaingan pun semakin sempit. Sebab, tinggal sedikit lahan yang masih bisa dipanen. Abu Sinabung telah merusak semua tanaman, dan gagal panen berulang kali adalah kenyataan yang harus mereka hadapi.

"Tak ada lagi panenan kami. Biasanya ini musim panen. Pikiran ada uang untuk lebaran dan anak masuk sekolah," ucap Murni, seorang warga pengungsi, Rabu (24/6/2015).

Perempuan asal Jawa yang sudah beranak-pinak di Kecamatan Tiganderket ini, pada 2008 ikut orangtuanya meninggalkan kampung mereka di Batu Bara, Kabupaten Asahan. Saat erupsi 2013, mereka sempat kembali ke Batu Bara, tapi kembali lagi ke Tanah Karo. Di situlah kampung mereka.

Kini, hujan abu dan lahar dingin membuat warga yang rumahnya hanya berjarak delapan kilometer dari puncak gunung ini kesulitan untuk bertahan hidup. "Kalau lahar dingin, kami tak takut. Sudah ada alirannya di sana," kata dia sambil menunjuk bekas aliran lahar yang membentuk parit besar berisi bebatuan.

"Awan panas itu yang kami takut. Walau kami jauh, tapi sampai juga ke sini debunya. Habislah semua tanaman, tak kerjalah kami itu, di rumah saja," kata Murni lagi.

Usaha
Bolang Sitepu, pemilik warung di luar lokasi pengungsian, mengaku terpaksa berdagang karena tak mempunyai keahlian lain. Sambil merebus jagung, dia bercerita baru setahun belakangan ini dia berjualan. "Habis padi dibuat abu, tak bisa panen kami. Sementara dua adik ndu (kamu, Karo-Red) masih kuliah di Medan. Ini di bawah ini sawah kita. Aku sudah tua, tak mungkin kerja yang lain, jualanlah aku," kata dia.

Laki-laki yang suka menyelipkan rokok di bibir, di antara giginya yang ompong itu tak mau mengungkapkan berapa penghasilan dari berjualan dan menyediakan fasilitas teropong bagi pengunjung. "Pastinya lebih besar dari berladang, tapi lumayanlah hasil di sini daripada hidup di pengungsian. Yang penting masih bisa bayar uang kuliah," kata dia sambil tertawa.

Satu porsi mie instan dibanderol Rp 10.000, air mineral ukuran botol besar Rp 7.000. "Masih terjangkaulah. Kalau tempat gratis, asal beli makanan. Kalau pakai teropong tengok gunung, bayar seikhlasnya aja. Kamar mandilah bayar Rp 2.000," ucap dia sambil menghisap panjang rokok kreteknya.

Bapak empat anak ini bilang, anaknya paling besar yang juga membuka warung sekarang bergabung menjadi relawan pengungsi Sinabung. "Di sana warungnya, namanya Sudi Mampir. Wartawan ngumpulnya di sana, mantau gunung orang itu," kata dia lagi.

Sekretaris Desa Mardingding, Minarti Br Sembiring mengakui beberapa masyarakat di desanya beralih profesi menjadi penambang batu. "Ada beberapa warga desa kami yang memanfaatkan batuan di aliran lahar dingin sebagai sumber ekonomi mereka. Hasil menambang sebagian masuk kas desa dan kas Karang Taruna karena para pekerja tambang rata-rata anggota Karang Taruna Desa Mardinding. Pernah hasil dari menjual batu dibelikan beras 500 kilogram dan dibagi-bagi ke masyarakat. Tiap KK dapat  2,5 kilogram," kata Minarti.

Sekretaris Karang Taruna Desa Mardingding Esra Sembiring menambahkan, menambang batu sudah dilakukan sejak setahun terakhir. Uang dari menjual batu dibagi-bagi, 70 persen untuk para penambang, 15 persen masuk kas Karang Taruna, 10 persen ke kas desa, sisanya untuk pemilik lahan tempat batu di tambang. Aktivitas menambang tidak dilakukan setiap hari, kalau ada permintaan saja.

"Kami berharap Pemerintah memberikan ataupun menyediakan pekerjaan tetap untuk korban erupsi Sinabung. Apalagi kita semua tidak tau sampai kapan keadaan ini. Kami petani semua, sudah hilang pekerjaan dan sumber penghasilan kami," kata Esra.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com