Menurut Hadi, DPR menganggap Freeport tidak mampu membangun smelter.
“DPR juga menilai penandatanganan nota kesepahaman penyewaan lahan PT Petrokimia oleh Freeport untuk pembangunan smelter terburu-buru. Belakangan diketahui pihak Freeport belum mengajukan izin ke Pemerintah Kabupaten Gresik,” kata Hadi, Rabu (28/1/2015).
Terkait hal itu, Hadi sangat menyayangkan keputusan pemerintah menerbitkan surat persetujuan ekspor (SPE) konsentrat tembaga untuk PT Freeport Indonesia pada Senin, 26 Januari 2015, dengan kuota sebesar 580.000 ton untuk enam bulan ke depan.
“Padahal, jika konsentrat tetap diekspor, pemerintah tidak akan tahu seberapa besar kandungan mineral di dalamnya. Sebab, setiap konsentrat memiliki kadar tembaga, emas ataupun perak yang berbeda, tergantung waktu dan tempat pengerukan. Bahkan jika ada uranium, karena masih bentuk konsentrat, Indonesia tetap tidak mengetahuinya,” ungkapnya.
Diketahui, surat persetujuan ekspor merupakan tindak lanjut dari Perpanjangan Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R Sukhyar dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, tanggal 23 Januari 2015. Pada MoU poin 2 huruf b disebutkan perusahaan melaksanakan ekspor konsentrat tembaga sesuai dengan persyaratan perpanjangan rekomendasi ekspor berdasarakn MoU dan Peraturan Perundang-undangan.
“Intinya DPR meminta masalah smelter ini diberesin dulu, jika tidak, ya jangan ekspor konsentrat,” tandasnya.