Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meluruskan Tafsir Perkawinan Mbah Kodok

Kompas.com - 14/10/2014, 19:57 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Syahdan, Peri Setyowati sedang jalan-jalan ke Alas Ketangga untuk mencari bantuan karena rumahnya Alas Marga di mana ada mata air yang indah, sudah sangat rusak. Manusia yang hidup di sekitarnya dan yang merusaknya tidak mau lagi memperbaiki kerusakan yang ada.

Di Alas Ketangga inilah dia bertemu dengan Mbah Kodok yang sedang buang hajat. Dia ditegur oleh Setyowati, dan terjadilah diskusi soal alam dan manusia. Dari obrolan itu, ternyata mereka memiliki kepedulian yang sama. Oleh karena itu mereka lalu ingin merekatkan hubungan mereka dalam sebuah perkawinan. Gayung bersambut, Bramantyo yang selama ini dikenal sebagai karib Mbah Kodok bersedia menjadi tuan rumah perkawinan Mbah Kodok dan Setyowati. Maka jadilah, perkawinan itu diwujudkan dalam happening art atau seni kejadian dengan judul "Bagus Kodok Ibnu Sukodok rabi Rara Peri Setyowati".

Pada Rabu, 8 Oktober 2014, pukul 16.00 WIB diselenggarakan acara siraman, dan pada pukul 19.00 WIB berlangsung temu nganten di Rumah Tua Sekaralas milik Bramantyo Prijosusilo di Widodaren, Ngawi, Jawa Timur. Para tamu dan penonton berjubel menyaksikan prosesi perkawinan itu.

Beberapa media mengabarkan, acara tersebut disaksikan oleh ribuan orang. Tentu saja, sebagian di antaranya mengerti dengan maksud dan tujuan acara, sementara sisanya adalah mereka yang penasaran, termasuk wartawan yang meliput, seperti yang diutarakan oleh Sari, isteri Bram.

"Sayangnya tak semua orang paham dengan maksud penyelenggaraan acara ini. Bahkan wartawan yang meliput peristiwa budaya ini pun banyak yang salah mengerti dengan maksud dan tujuan Bram, sebagai penggagas acara.

Walhasil, sebagian pewarta yang hanya menyimak apa yang mereka lihat justru sudah "mengacaukan" esensi acara. Alhasil, "ini membuat kami seolah-olah membuat kesesatan. Ini sangat mengganggu," keluh Sari, isteri Bram.

Menurut Sari, berita yang diturunkan hanya persoalan sensasi saja. Padahal banyak hal yang ingin disampaikan di sana. "Aku juga tidak membaca satu kutipan pun dalam tulisannya mengenai pendapat beberapa seniman kelas dunia yang hadir dan bahkan ada bersamanya di mobil, seperti Arahmaiani. Akibatnya terjadi misleading yang parah. Di sini sebenarnya Bramantyo, sebagai seniman yang membuat seni kejadian ini, juga tim yang bekerja mewujudkan acara ini merasa sangat dirugikan," papar Sari.

Pesan-pesan soal lingkungan hidup, soal memuliakan agama 'budi', soal eksploitasi danyang untuk hanya kepentingan materialistis dan kekuasaan, yang sebenarnya adalah esensi dari acara ini sama sekali tidak disentuh. Bahkan salah satu stasiun televisi terpandang sempat menghadirkan nara sumber psikolog untuk mengomentari acara ini dan menyatakan bahwa manusia yang melakukan ini mungkin sudah sakit jiwa.

"Sebuah media online yang melakukan publikasi untuk acara ini, menurutku punya andil yang besar. Selain adanya banyak kesalahan data, juga inti acara ini, bahkan tidak disentuh sama sekali. Bramantyo sebagai penggagas, juga tidak diberi porsi yang seimbang dalam tulisan-tulisan yang dipublikasikan untuk memberikan penjelasan mengenai karyanya," imbuh Sari.

Padahal ya padahal, gagasan karya seni kejadian ini adalah menyangkut juga pengembalian mitos demi kesejahteraan rakyat. Seperti mitos danyang ini dan itu yang selalu dipinggirkan, dimusyrikan. "Padahal dengan adanya mereka mata air, sungai, hutan dan pohon-pohon bisa lebih terjaga," Sari menyimpulkan.

Sari menambahkan, melalui acara ini, Pak Lurah di mana mata air itu berada, telah datang minta waktu untuk mengobrolkan banyak hal soal Alas Marga. "Harapanku dari situ kami bisa mulai memperbaikinya. Juga asisten Bupati sudah mulai ingak inguk Alas Marga."

"Nah, berita-berita yang ditulis oleh kawan-kawan wartawan yang tak paham substansi acara ini menyebabkan kami seolah-olah membuat kesesatan. Ini sangat mengganggu," keluh Sari.

Sari menegaskan, ini penting disampaikan. Soalnya menyangkut apa yang ingin dikerjakan di masa yang akan datang. "Kami ingin acara ini sebagai pondasi untuk membikin labuhan seni desa, memperbaiki mata air-mata air, menghutankan kembali alas-alas gundul dan menghidupkan kohesi masyarakat lewat kesenian."

Tapi, jika acara tersebut dipersepsikan berbeda, rasanya berat bagi Sari dan Bram untuk mengadakan acara-acara serupa, yang bukan saja berfungsi sebagai hiburan masyarakat, melainkan juga untuk menumbuhkan kesadaran kembali ke ajaran budi yang diturunkan oleh para pendahulu bangsa ini. (Bersambung)

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com