Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Tante Dolly dan Kompleks Pemakaman

Kompas.com - 18/06/2014, 07:36 WIB
Kontributor Semarang, Puji Utami

Penulis


SURABAYA, KOMPAS.com
 — Tidak ada yang tahu persis bagaimana kawasan prostitusi Gang Dolly berdiri untuk kali pertama. Namun, nama Dolly sudah sangat terkenal sejak lama. Bahkan sejumlah literatur menyebutkan bahwa Dolly sudah ada sejak abad ke-19 masa kolonial Belanda.

Dolly berada di tempat strategis di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Konon kawasan ini menjadi yang terbesar se-Asia Tenggara dibandingkan Phat Pong di Bangkok, Thailand, atau Geylang di Singapura. Keberadaan Dolly bahkan dinilai lebih terkenal dibandingkan Kota Surabaya.

Bukan hanya warga lokal yang datang ke Dolly, bahkan orang asing pun diketahui banyak yang penasaran dengan Dolly. Banyak wisatawan luar negeri yang menyeberang dari Bali ke Surabaya hanya untuk ke Dolly.

Ada beragam kisah terkait awal berdirinya Dolly, antara lain yang menyebutkan bahwa nama Dolly diambil dari nama salah satu perintis usaha prostitusi seorang perempuan keturunan Belanda bernama Dolly Van de Mart. Perempuan ini membuka sebuah wisma dengan perempuan-perempuan cantik yang utamanya digunakan untuk melayani tentara Belanda ketika itu.

Karena pelayanan yang memuaskan, para tentara pun kembali ke wisma itu. Bahkan, sejumlah masyarakat pribumi juga penasaran dengan pelayanan dan keberadaan perempuan-perempuan di rumah bordil tersebut. Rumah bordil itu pun menjadi ramai.

Kisah lain yang hampir serupa menyebutkan, kompleks ini awalnya merupakan pemakaman Tionghoa meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede. Kisah itu disebutkan pada buku berjudul Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly oleh Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar, yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Awalnya, penelitian itu merupakan skripsi Tjahjo dari FIP Unair, Surabaya yang kemudian dibukukan.

Pada tahun 1960-an, makam-makam tersebut dibongkar dan sebagian besar dijadikan permukiman. Sekitar tahun 1966, muncullah para pendatang yang kemudian menetap di kawasan itu. Pada 1967, datang seorang mantan pelaku prostitusi berdarah Jawa-Filipina bernama Dolly Khavit atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tante Dolly. Ia menikah dengan pelaut Belanda dan mendirikan rumah bordil pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I.

Keberadaan rumah prostitusi itu banyak membuat orang penasaran. Bahkan, sosok Tante Dolly juga membuat banyak lelaki hidung belang datang ke tempat tersebut. Seiring berjalannya waktu, banyak orang yang mendirikan usaha di sekitar wisma milik Tante Dolly.

Kawasan itu kemudian dikenal dengan sebutan Gang Dolly yang juga bersebelahan dengan kawasan prostitusi Jarak. Namun, nama Dolly-lah yang lebih terkenal. Puluhan wisma bermunculan, mulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur, hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.

Menurut cerita, masih ada keturunan Tante Dolly yang tinggal di Surabaya, tetapi tidak lagi melanjutkan bisnis esek-esek tersebut.

Selain lokasi yang strategis, cara menjajakan PSK di tempat ini juga cukup dramatis sehingga menjadikan Dolly sangat terkenal. Para pemuas nafsu itu akan dipajang di ruangan berkaca layaknya etalase, tentunya dengan pakaian minim yang memikat. Dengan begitu, lelaki hidung belang yang datang akan bebas memilih dengan siapa ia mau ditemani.  

Kisah melegenda Dolly ini sebentar lagi hanya akan menjadi cerita. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini telah bertekad akan menutup kompleks lokalisasi ini pada 18 Juni 2014. Kawasan itu akan diubah menjadi gedung enam lantai sebagai pusat ekonomi di Surabaya. Meski begitu, penolakan terus saja terjadi hingga detik-detik pengumuman penutupan Dolly.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com