LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com – Kaum ibu tampaknya pantas tersenyum lebar, menyusul resmi disahkannya Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) oleh DPR RI pekan lalu.
Dalam regulasi ini, salah satu yang paling mendapat atensi publik adalah, kaum ibu berhak mendapatkan cuti melahirkan tiga bulan pertama, ditambah tiga bulan kedua jika terdapat kondisi khusus.
Artinya, jika dalam kondisi kesehatan tertentu, total cuti melahirkan bisa mencapai enam bulan.
Namun, sesungguhnya ide untuk mengatur cuti melahirkan jauh hari sudah dimulai di Pemerintah Aceh, tepatnya pada 11 Agustus 2016.
Baca juga: Soal Cuti Melahirkan 6 Bulan, Pengusaha Minta Ada Kejelasan Kriteria Kondisi
Saat itu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menandatangani Peraturan Gubernur mengenai cuti hamil dan melahirkan bagi pegawai negeri sipil (PNS), pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) atau tenaga honor perempuan dan suami, selama hampir enam bulan.
Pergub Aceh Nomor 49 Tahun 2016 itu mengatur tentang pemberian air susu ibu eksklusif.
Dalam pergub itu terdapat beberapa poin penting antara lain; Pemerintah wajib memberikan cuti hamil dan cuti melahirkan bagi para PNS dan tenaga honor atau kontrak perempuan, 20 hari sebelum waktu melahirkan.
Kemudian, Pemerintah wajib memberikan cuti melahirkan selama enam bulan setelah waktu melahirkan untuk masa pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.
Serta bagi suami diberikan cuti hamil selama tujuh hari sebelum melahirkan. Sedangkan untuk cuti melahirkan, suami diberikan cuti tujuh hari setelah melahirkan.
Baca juga: DPR: Cuti Melahirkan Umumnya 3 Bulan, Ini Syarat Jadi 6 Bulan Sesuai UU KIA
Namun, regulasi dalam bentuk peraturan gubernur itu tidak berjalan seiring lengsernya Zaini Abdullah.
Zaini juga tidak terpilih lagi menjadi gubernur pada kontestasi pemilihan kepala daerah berikutnya. Praktis, cuti melahirkan kembali menjadi tiga bulan, layaknya regulasi nasional saat itu.
Namun, kabar baik dari UU KIA itu membawa harapan baru bagi pekerja perempuan di Indonesia, termasuk di Aceh.
Salah seorang karyawan Susi Handayani, kepada Kompas.com, Senin (10/6/2024) menilai, kebijakan itu harus segera diterapkan.
“Agar kaum perempuan bisa cuti lebih panjang. Tidak semua fisik perempuan kuat langsung bekerja dengan modal cuti hanya tiga bulan,” kata dia.
Selain itu, sambung Susi, regulasi harus mengikat ke seluruh pekerja perempuan, baik swasta dan pegawai negeri.
Baca juga: 5 Negara dengan Cuti Melahirkan Paling Lama, Ada yang sampai 14 Bulan