NUNUKAN, KOMPAS.com – Warga pelosok Desa Atap, Kecamatan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, saban tahunnya selalu menjadi korban banjir kiriman Malaysia.
Sawah, ladang, dan ternak musnah diterjang banjir. Alhasil, penghasilan pun jadi tak menentu.
Hilangnya areal persawahan dan perkebunan, menjadikan ancaman kerawanan pangan daerah tapal batas RI ini. Masyarakat mencoba survive dengan bekerja serabutan dan menjadi nelayan.
Baca juga: Wilayah Rawan Banjir Kiriman Malaysia Jadi Sasaran TMMD, Kodim 0911/NNK Siapkan Lahan Pangan
"Dalam setahun, banjir kiriman Malaysia bisa terjadi lebih dari tiga kali, malah sampai lima kali. Untuk menghidupi keluarga, saya hanya bisa mencari ikan di sungai dan bekerja serabutan," ujar salah satu warga Desa Atap, Syahran dijumpai Jumat (7/6/2024).
Syahran menuturkan, ia sebenarnya memiliki setengah hektar sawah dan sejumlah kebun buah buahan.
Namun karena banjir kiriman Malaysia menghancurkan sumber penghasilannya, iapun tak bisa mengolah sawah, atau mengandalkan hasil kebun buahnya.
"Terakhir kali kami warga Desa Atap menikmati hasil panen sawah kami itu tahun 2007. Sejak itu, semua hilang tersapu banjir yang tiap tahun merendam desa kami," kata Syahran dengan suara serak.
Warga Desa Atap, akhirnya beralih profesi sebagai nelayan sungai, tak sedikit dari mereka bekerja serabutan.
Profesi tersebut, menjadi kendala dalam pemenuhan pangan yang masuk kategori 4 sehat 5 sempurna.
Desa Atap, bisa dikatakan sebuah desa yang rawan pangan, karena segala kebutuhan mereka, didatangkan dari Tarakan, dan dari perdagangan tradisional lintas batas Indonesia, Malaysia.
Syahran masih ingat ketika ia masih menggarap sawah sebelum 2007. Sawah setengah hektar miliknya, menghasilkan 100 kaleng padi.
Menurut hitungan warga Desa Atap, perkalengnya berisi 10 Kg gabah atau sekitar 8 Kg beras.
"Dulu warga kami tidak kekurangan beras. Pangan terjamin apalagi kebun buah hampir semua punya. Itu dulu, beda sekarang, kami semua ini harus kerja serabutan buat makan karena penghasilan tak tentu," katanya dengan mata berkaca kaca, mengingat kenangan lamanya.
Kondisi inipun diaminkan Kepala Desa Atap, Tahir. Sawah warga Desa Atap dengan luasan sekitar 200 Ha, tak lagi aktif akibat terjangan banjir Malaysia.
Untuk diketahui, banjir rutin terjadi setiap tahun. Diduga banjir tersebut kiriman dari Malaysia.