MATARAM, KOMPAS.com - Siapa bilang jadi marbot masjid tidak keren? Di Masjid Khairul Huda, Lingkungan Irigasi Ampenan Kota Mataram, ada marbot masjid berusia muda. Ia baru lulus S1 dan sedang menempuh kuliah S2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
"Saya tidak malu menjadi marbot masjid, ini bahkan keinginan saya sejak SMA, ingin menjadi marbot. Tidak tahunya benar kesampaian, kenapa mesti malu menjaga rumah Allah," kata Febria Azwandi (24) sambil membersihkan lantai masjid, Jum'at (22/3/2024).
Memilih menjadi marbot bagi mahasiswa, bukan hal lazim. Bahkan sebagian besar marbot di sejumlah masjid di Kota Mataram, berusia 40 tahun ke atas. Namun bagi Azwar, pilihannya sudah tepat dan itu dianggapnya keren.
Baca juga: Kisah Muammar 10 Tahun Jadi Marbot, Bahagia Layani Umat Meski Honor Kecil
Azwar menceritakan awal mula dirinya menjadi marbot. Awalnya dia dipanggil Imam Masjid Khairul Huda, H Hulaimi, untuk tinggal dan merawat masjid.
Karena masih kuliah S1 jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) di UIN Mataram, dia minta waktu satu bulan untuk berpikir dan menyelesaikan sejumlah kewajibannya di kos.
"Saya dulu pernah punya keinginan menjadi marbot waktu SMA. Ketika ada tawaran saya akhirnya siap menjadi marbot. Namun dua kawan kos saya yang juga diminta ikut tinggal di masjid dan merawat masjid batal ikut, hanya saya sendiri," tutur dia.
Baca juga: Cerita Eka, Merantau dari Jakarta demi Menjadi Marbot di Masjid Bersejarah Makassar
Singkat cerita, pada 2019 Azwar memulai hari-harinya menjadi marbot, di akhir semester 2.
Azwar berusaha membagi waktu kuliah dan tugas mengurus masjid. Semua tugas marbot mulai dari membersihkan lantai 1 dan 2 masjid, langit-langit masjid, mimbar masjid, tempat wudhu dan toilet hingga halaman masjid.
Selain itu, ia akan membantu menyiapkan kebutuhan warga jika ada acara pengajian di masjid, serta menyiapkan pelaksanaan shalat Jumat.
Azwar tak sendiri. Dia membagi tugas dengan 2 rekannya yang lain, sehingga suasana di Masjid Khairul Huda benar-benar nyaman karena kebersihannya.
Azwar juga menyiapkan kursi untuk jemaah yang shalat tapi tidak kuat berdiri. Semua dikerjakannya dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
"Prinsip saya itu membahagiakan orang di dunia dengan melayani mereka di masjid sebagai tamu Allah, untuk mendapatkan kebahagiaan nanti di akhirat, atas seizin Allah," ungkap dia.
Memantapkan diri menjadi marbot, bagi Azwar, selain mendekatkan diri pada Allah dan menjauh dari hal-hal buruk dalam hidup dan agama, juga untuk meringankan beban orang tuanya.
"Saya bisa meringankan beban orangtua, tidak bayar kos lagi karena tinggal di masjid, bisa menabung untuk biaya kuliah. Bahkan kadangkala saya bisa mengirim uang ke orangtua di Lombok Timur," ucap dia.
Menjadi marbot juga menyembuhkan kesedihannya karena gagal kuliah di Yogyakarta yang diimpikannya. Azwar malah lulus dengan gemilang dan melanjutkan kuliahnya di S2 di jurusan yang sama Pendidikan Agama Islam (PAI) UIN Mataram.
Azwar mengakui bahwa banyak anak muda zaman sekarang yang kurang tertarik menjadi penjaga masjid atau marbot.
Namun baginya, pilihan menjadi marbot adalah hal yang menyenangkan sekaligus menenangkan. Apalagi saat masih SMA, tempat favoritnya adalah masjid dan itu terbawa hingga kini.
Azwar juga terus berupaya menuntaskan S2 nya setahun lagi dan menargetkan bisa menjadi dosen. Kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
"Saya berjuang meraih cita-cita di masjid ini, saya akan tetap konsisten agar bisa menjadi dosen dan membanggakan kedua orangtua saya," katanya bersemangat.
Azwar mendapat tawaran menjadi marbot bukan tanpa alasan. Warga Lingkungan Irigasi mengetahui dirinya memiliki kemampuan melantunkan ayat-ayat Al-Quran atau qori. Ia pun memiliki suara yang merdu saat melantunkan azan.
Tidak hanya menyelesaikan S1 dan akan menuntaskan S2 dari perjuangannya menjadi marbot, Azwar juga punya sejumlah prestasi membanggakan.