BIMA, KOMPAS.com - Matahari bersinar terik di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Suhu udara daerah berjuluk Kota Tepian Air ini mencapai 36 derajat Celcius, terasa tak biasa apalagi di tengah musim penghujan.
Kedua tangan Syamsudin Umar (53) menggenggam erat terali gerbang ketika menyambut kedatangan Kompas.com di kediamannya, Minggu (28/1/2024).
Baca juga: Kisah Penyandang Disabilitas Jadi Caleg Modal Pas-pasan, Apa yang Diperjuangkan?
Syamsudin adalah seorang penyandang disabilitas tunanetra di Kelurahan Manggemaci, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Panas sekali hari ini, mungkin mau hujan," cetus Syamsudin mengawali percakapan di teras rumahnya.
Syamsudin saat ini berprofesi sebagai penganalisis penyakit menggunakan teknik alamiah dan terapi syaraf dengan sistem akupresur. Praktik ini digelutinya untuk menopang biaya hidup diri dan keluarganya sejak tahun 2021 lalu di Kota Bima.
Baca juga: Perjuangan Elo, Mahasiswa Disabilitas UB yang Disemangati oleh Rektor Saat Wisuda
Di sela kesibukan itu, ayah dua anak ini juga menjabat sebagai Ketua Himpunan Tunanetra Islam Bima Raya atau Hati Bira. Dia mengkoordinasikan 30 orang penyandang disabilitas khusus tunanetra yang ada di lima kecamatan di Kota Bima.
Meski punya peran dan pengaruh besar di organisasi, Syamsudin terancam hanya akan menjadi penonton saat pemungutan suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024.
Dia tidak terdata dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di RT 04 Lingkungan Waki, Kelurahan Manggemaci, Kota Bima, NTB.
"Saya tidak terdaftar di DPT karena waktu itu saya belum ada KTP. Tapi saya sudah lama tinggal di Bima, sejak tahun 2021," ujarnya.
Baca juga: KPU Magelang Terima 4.407 Alat Bantu untuk Pemilih Disabilitas Netra
Sebelum kembali ke tanah kelahirannya di Kota Bima, Syamsudin Umar sempat merantau cukup lama ke Pulau Jawa. Dia menikah dan memiliki dua orang anak di sana.
Namun, karena alasan usaha jasa terapi yang terus menjamur di kota besar, ia kemudian memutuskan pulang dan membuka praktik di Kota Bima.
Syamsudin Umar mengaku pesimistis bisa ikut menyalurkan hak suaranya di TPS pada 14 Februari 2024 mendatang. Namun, ia masih menaruh harapan besar bisa terdata dan ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi tahun ini.
"Iya tidak bisa milih, tapi saya enggak tahu nanti mungkin ada kebijakan buat saya dari penyelenggara," ucapnya.
Baca juga: Pensiunan PNS Remas Dada Remaja Disabilitas, Mengaku Khilaf pada Polisi
Ilustrasi pemilu (istockphoto.com).
Syamsudin tidak punya cerita soal situasi politik saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kota Bima Tahun 2019. Saat itu ia masih menetap di kampung sang istri di Jawa Tengah (Jateng).
Kendati tak punya pembanding, ia menilai penyelenggara Pemilu di Kota Bima sudah mulai menaruh perhatian kepada kelompok disabilitas, walaupun disebutnya hanya sekadar untuk menggugurkan kewajiban semata.