KOMPAS.com - Sejumlah individu dari kalangan masyarakat miskin kota bertarung memperebutkan kursi legislatif dalam Pemilu 2024.
Mereka yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT), sopir angkot, penjual sabun keliling, dan tukang mi ayam ini mencoba memikat pemilih - pada saat masyarakat miskin kota, menurut pengamat politik, kadung terbiasa menerima ‘hadiah’ dari para calon anggota legislatif (caleg) saat berkampanye.
Dengan berbekal dana Rp 1 juta hingga Rp 6 juta, mereka tetap menyimpan asa untuk menang, walau itu bukan jadi tujuan utama.
Angka ini tentu tak sebanding dengan besarnya dana yang dikeluarkan oleh para caleg pada umumnya. Dalam sebuah riset, biaya yang dikeluarkan seorang caleg pada pemilu-pemilu sebelumnya berkisar dari Rp 250 juta hingga Rp 2 miliar.
Salah satunya adalah Lestareno, sopir angkot di Purwakarta.
Lalu, bagaimana para caleg miskin itu menyiasati biaya politik yang tinggi dan tantangan apa saja yang mereka hadapi saat berkampanye?
Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, mengikuti kegiatan mereka bertemu dengan para calon pemilih.
Pria berusia 41 tahun yang biasa dipanggil Ompong oleh teman-temannya itu mengajak saya berkeliling dengan mobil angkot 02 jurusan Simpang-Sadang, yang dia beli dari uang pensiun dini usai bekerja di pabrik.
Di mobilnya, terpasang beberapa stiker kampanye wajahnya bersama caleg lain.
Saat kami berbincang, seorang penumpang bernama Sigit Prabowo, pedagang makanan di sekolah, menghentikan mobilnya.
Di tengah perjalanan, Lestareno lalu berbincang dengan Sigit.
“Mas, nanti pilih saya ya, nomor urut empat. Saya caleg DPRD Purwakarta dari Partai Buruh,” kata Lestareno yang telah menjadi sopir selama tiga tahun terakhir.
Baca juga: 3 Caleg PKB di Banten Nyatakan Sikap Dukung Prabowo-Gibran
Mendengar itu, Sigit terperanjat karena sopir angkot yang ditumpangi adalah seorang caleg.
“Baru pertama kali dengar ada sopir angkot jadi caleg. Biasanya caleg orang kaya, berduit, ini sopir angkot jadi caleg,” katanya.