NUNUKAN, KOMPAS.com – Baru-baru ini, sejumlah grup media sosial di Nunukan, Kalimantan Utara, dihebohkan dengan sebuah video berisi kekecewaan, kebingungan, dan harapan warga pelosok perbatasan RI–Malaysia, di Desa Atap, Kecamatan Sembakung.
Video berdurasi 4 menit 26 detik tersebut menggambarkan kesedihan warga Desa Atap yang menanti uluran tangan pemerintah atas musibah tanah longsor di desanya.
Tanah longsor sudah memakan sekitar 10 rumah tinggal dan satu rumah usaha walet, bahkan sudah memakan badan jalan, akses darat satu-satunya yang menghubungkan Desa Atap, Desa Manuk Bungkul, dan Desa Lubakan.
Baca juga: Tambang Emas Tradisional di Perbatasan Kalsel-Kaltim Longsor, 5 Orang Tewas
Sejumlah warga berkumpul di bagian tanah longsor pinggir sungai. Mereka membacakan sebuah surat yang sebelumnya dirancang dari buah pemikiran dan keputusasaan warga setempat, sekaligus doa agar Tuhan mengetuk pintu hati para pemilik kebijakan.
‘’Surat itu ibaratnya puisi yang kami beri judul ‘Surat Kaleng untuk Tuhan’. Itu ditulis atas dasar perasaan semua warga, dan penantian panjang yang butuh uluran tangan pemerintah atas musibah yang terjadi sejak lima tahun lalu. Surat itu, karya seluruh masyarakat Desa Atap, dibuat beramai ramai,’’ujar Kepala Desa Atap, Tahir, saat dihubungi, Rabu (22/11/2023).
Begini isi tulisan yang sedang menjadi sorotan warga di Kaltara ini.
‘Surat Kaleng Buat Tuhan’
Kepada Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Mendengar, dengan segala kemahamuliaanmu.
Tuhan, surat ini kami kirimkan dari RT 4 , 5 dan 11. Dari sebuah kampung Tua, Desa Atap, kecamatan Sembakung. Kecamatan tertua pula di Nunukan, Kalimantan Utara, Indonesia, Asia Tenggara, Benua Asia, planet Bumi.
Kami mengadu padaMu, tentang longsor yang telah kami alami, yang mengancam kehidupan kami, rumah rumah tempat kami tinggal, rumah rumah walet kami.
Bahkan Tuhan juga pasti sudah tahu, ada jalan raya beraspal yang dilalui dan menghubungkan tiga desa sekaligus, yaitu, Desa Manuk Bungkul, Desa Atap, dan Desa Lubakan, yang terancam terputus oleh abrasi.
Termasuk tiang listrik dan kabel kabelnya. Ini aset pemerintah yang nilainya berpuluh puluh miliar, kan itu sayang.
Selama ini Tuhan, bukannya kami diam dan hanya mengeluh. Macam macamlah kami buat disitu. Menimbun pasirlah, beribu ribu karung disitu sudah kami pakai mendinding tebingnya itu, ndak juga mempan.
Ada juga menggali kanal, ndak juga bisa. Untung saja tidak ada usul untuk tanam kepala kerbau disitu, karena perbuatan syirik, Tuhan pasti marah kan?
Diusul juga dorang lewat Musrenbang, bertahun tahun sudah, hasilnya remang remang.