LAMPUNG, KOMPAS.com - Kecintaan terhadap Indonesia membuat Jong A Piaw, seorang warga keturunan Tionghoa ikut angkat senjata dalam perang kemerdekaan di Lampung.
Pusara prajurit yang berpangkat Sersan Mayor (Serma) tersebut berada di Taman Makam Pahlawan (TMP) Provinsi Lampung bersama 810 pejuang lainnya. Meski raganya telah tiada, kisah kepahlawanannya tetap dikenang.
Baca juga: Mobil Terbakar Saat Bentrok di Kebun Sawit Lampung, Kades: Bukan Warga Saya
Serma Jong A Piaw dilahirkan pada tahun 6 September 1910 di Palembang, Sumatera Selatan.
Dia wafat di Lampung pada 1 November 1994 dalam usia 84 tahun saat telah menikmati kemerdekaan.
Prajurit dengan NRP 10904 yang bertugas di Korem 043 Garuda Hitam, Kodim 0410 ini berjasa besar dalam mengusir penjajah di wilayah Lampung pada masa perang kemerdekaan.
Baca juga: Merdeka dari Kekerasan di Dunia Pendidikan
Putra A Piaw, Amin Wijaya menceritakan kembali kisah-kisah yang sempat diceritakan sang ayah dan beberapa orang yang mengenalnya.
Amin menuturkan A Piaw mulanya bertugas di Tentara Teritorium II/Sriwidjaja (sekarang Kodam II Sriwijaya) dibawah kepemimpinan Kolonel (Inf) Bambang Utoyo.
"Setelah Agresi Militer Belanda 1 dan 2 baru papa dipindah ke Bandar Lampung," kata Amin saat dihubungi, Rabu (16/8/2023) malam.
Baca juga: Monumen Brimob Tlogowaru dan Kisah Polisi Pertahankan Kemerdekaan RI di Kota Malang
Pada masa itu, A Piaw berperang di Simpang Sender (Sumatera Selatan) sampai ke Liwa (Lampung Barat).
Spesialisasi A Piaw ketika menjadi andalan pasukan dalam menghalau tentara Belanda yang hendak mengusai Lampung dan Sumatera Selatan.
A Piaw piawai membuat ranjau darat yang kerap meluluhlantakkan kendaraan dan artileri tentara Belanda.
"Waktu itu masih jarang yang punya kemampuan membuat bom (ranjau) darat itu," kata Amin.
Baca juga: Ada Acara Hari Kemerdekaan, Simak Rekayasa Lalu Lintas di Jakarta
Dari cerita sang ayah, kemampuan merakit ranjau darat ini diperoleh saat menjadi pesuruh tentara Jepang.
"Papa waktu itu dicari-cari sama tentara Belanda, karena kendaraan mereka selalu hancur kena bom buatan papa," kata Amin.
Bahkan, ketika itu tentara Belanda sampai menjanjikan imbalan sebesar 50 Gulden jika bisa menangkap A Piaw hidup atau mati.