Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Subandi Rianto
Sejarawan, Pekerja Media

Sejarawan, Alumnus Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada

Mispersepsi Kultural Antraks Gunungkidul

Kompas.com - 14/08/2023, 15:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA awal Juli 2023, media-media di Indonesia dihebohkan berita merebaknya penyakit Antraks di salah satu kabupaten termiskin di Provinsi DI Yogyakarta, Gunungkidul.

Kabupaten yang menduduki peringkat kedua setelah Kulon Progo dengan penduduk miskin terbanyak berdasar data Badan Pusat Statistik tahun 2020, 2021 hingga 2022 ini, menurut lembaga-lembaga kesehatan pemerintah daerah telah lama menjadi wilayah endemik Antraks.

Kehebohan diawali dari berita media-media online lokal yang banyak mewartakan pernyataan pejabat daerah dalam melakukan langkah-langkah kuratif setelah ditemukan suspek penyakit Antraks.

Salah satu suspek yang dirawat di RSUP Sardjito kemudian meninggal. Media-media lokal yang terkoneksi dengan media induknya secara nasional kemudian merelai, atau menaikkan berita dari kanal daerah menjadi kanal nasional.

Berita-berita liar lain kemudian mengamplifikasi bahwa Antraks lahir dari bangkai sapi yang dikubur, dibongkar, dan dimakan.

Akun-akun media sosial kesehatan dengan follower besar langsung dengan cepat menyambar isu ini, berbagai kecaman dan keprihatinan menyeruak.

Orang-orang langsung dengan cepat mengambil kesimpulan singkat: kemiskinan ekstrem di kabupaten selatan Jogja ini mengerikan, bangkai saja dimakan.

Persoalan paling utama dalam sengkarut berita ini adalah, media-media sosial kesehatan dan informasi yang tak memiliki afiliasi dengan media bereputasi tak mengenal istilah cover both side.

Jika terjadi mispersepsi, media-media sosial hanya mengunggah ulang video tandingan atau video klarifikasi.

Berbeda dengan media-media bereputasi, baik cetak maupun online yang menempatkan metode wawancara berimbang. Kalaupun seorang narasumber keberatan dengan berita dapat diberikan hak jawab atau diselesaikan di Dewan Pers.

Mispersepsi selanjutnya melalui media-media sosial, publik mengambil kesimpulan terlalu dini bahwa Antraks yang merebak dari sapi yang dikubur kemudian disembelih kembali terkait erat dengan masalah kemiskinan ekstrem.

Persoalannya tak sesederhana itu. Publik mungkin tak banyak membaca ulang data-data yang disajikan media-media bereputasi soal kerja-kerja aparatur daerah, pun termasuk sosiologi/antropologi kultural masyarakat Jawa di Gunungkidul.

Siapa sih hari ini yang masih membaca berita-berita media bereputasi? Orang lebih suka membaca berita di media sosial seperti Instagram dan Tiktok.

Tradisi "Mbrandu"

Adalah tradisi Mbrandu yang ditengarai menjadi munculnya kembali kasus Antraks. Mbrandu adalah istilah Jawa untuk proses membeli sapi mati atau sakit secara iuran dalam suatu wilayah agar sang pemilik tidak terlalu merugi.

Istilah ini dapat dilihat sebagai upaya sosial mengurangi beban sang pemilik dan menumbuhkan empati dalam komunitas.

Aparatur pemerintah di Gunungkidul telah mengawasi tradisi ini dengan ketat. Datanya bisa dilihat dalam pernyataan para pengawas kesehatan hewan Gunungkidul yang mengingatkan agar “mbrandu” hewan-hewan yang sehat.

Gunungkidul memiliki riwayat endemik Antraks, itulah sebabnya Mbrandu menjadi skala prioritas utama pengawasan.

Membaca “Mbrandu” dari guliran jempol tangan di media sosial terlihat sangat menyedihkan. “Mbrandu” tak sesimpel dan sesederhana itu.

Tradisi "Mbrandu" terkait erat dalam konsep berpikir antropologi orang Jawa pedesaan yang tidak bisa dinilai dengan tolok ukur nilai-nilai orang Jawa kota.

Tentu saja mispersepsi ini diperparah dengan penggunaan sudut pandang kacamata. Melihat Gunungkidul dari kacamata Jakarta tentu saja berbeda dengan melihatnya dari kacamata Yogyakarta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com