Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Subandi Rianto
Sejarawan, Pekerja Media

Sejarawan, Alumnus Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada

Mispersepsi Kultural Antraks Gunungkidul

Kompas.com - 14/08/2023, 15:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Anjuran ini dibumbui bahwa pesan dari Sultan HB IX atau keraton untuk terhindar dari virus Corona. Efeknya masyarakat menjadi abai terhadap pesan-pesan dari tenaga kesehatan terkait tatalaksana mencegah penyebaran virus.

Edukasi soal isu-isu kesehatan di masyarakat pedesaan atau masyarakat yang jauh dari pusat informasi tak segampang membalikkan telapak tangan. Banyak aspek terkait antropologi dan kultural masyarakat yang perlu diperhatikan.

Itulah mengapa dalam pendekatan-pendekatan edukasi kesehatan terkini sudah dilengkapi pendekatan multidisiplin agar lebih efektif.

Edukasi-edukasi kesehatan di pedesaan sudah dilengkapi berbagai sarana, baik melalui agensi-agensi lokal seperti lurah, dukuh, ketua RT/RW, melalui agenda-agenda kebudayaan seperti arisan, bersih desa, rasulan dan juga musyawarah desa.

Bahkan hingga saluran-saluran religius seperti ceramah shalat, khutbah Jum’at hingga dalam khotbah di gereja-gereja.

Tentunya kerja keras tenaga kesehatan dalam mengedukasi masyarakat pedesaan perlu diapresiasi, dan masih banyak tantangan kedepan terkait persoalan kultural yang menjadi pekerjaan rumah kita semua.

Salah satu aspek yang berkelindan dengan masalah kultural adalah soal kemiskinan struktural di pedesaan Jawa. Sehebat apapun edukasi yang diberikan, tapi aspek kemiskinan belum menemukan solusi, maka jalan terjal yang dihadapi masih sangat panjang.

Kemiskinan struktural di Jawa terkait erat dengan konsep pikir kultural. Jika orang memiliki cadangan tabungan berlebih, maka ketika hewan ternak mati/sakit, tentunya akan dibawa ke dokter hewan atau dikubur semestinya.

Bagaimana jika petani-petani pedesaan miskin ini hanya memiliki satu atau dua hewan ternak dan kemudian sakit? Mungkinkah membawa ke dokter hewan?

Dari situlah kemudian Mbrandu menjadi lestari karena adanya konsep kemiskinan kultural dan struktural. Petani-petani gurem ini bersolidaritas untuk meringankan beban saudaranya dengan membeli hewan ternak sakit secara cuma-cuma.

Kemiskinan struktural di Jawa juga disumbang dengan banyaknya tradisi yang melingkupinya.

Di satu sisi, tradisi memiliki dampak positif untuk memperkuat solidaritas sosial. Namun, di sisi lain tradisi menjadi tali ikatan yang saling mencengkeram satu sama lain.

Keluarga-keluarga Jawa yang tidak melestarikan tradisi kultural akan menjadi bahan cemoohan. Rata-rata tidak bisa menyelenggarakan tradisi kultural karena tidak memiliki uang, lalu mereka meminjam ke tetangga.

Sebagian dari mereka kemudian bertransmigrasi atau berurbanisasi ke kota. Gunungkidul adalah wilayah dengan tingkat urbanisasi tinggi, sebagian besar penduduk usia muda lebih memilih bekerja ke Kota Yogyakarta, ke kota lain atau merantau ke Jakarta.

Kebudayaan tidak sepenuhnya salah, modernisasi juga tidak sepenuhnya salah. Hanya saja skala prioritas untuk pembangunan yang bertujuan pada peningkatan kualitas hidup manusia perlu menjadi fokus utama bagi pemerintah daerah.

Kasus Antraks yang terkait erat dengan tradisi Mbrandu perlu menjadi perhatian serius pemangku kepentingan di ibu kota Yogyakarta. Pun, persoalan ini berkelindan dengan angka-angka kemiskinan di Gunungkidul yang dalam tiga tahun tetap tidak berubah.

Pengingat untuk pemerintah daerah di Yogyakarta agar berfokus pada anggaran-anggaran pengentasan kemiskinan. Alarm survei-survei BPS yang mengindikasikan tingginya rasio gini di daerah istimewa ini patut menjadi pelecut.

Birokrasi daerah yang seringkali dinilai lamban dalam merespons masalah perlu ditata ulang dan diajak berlari.

Kita tidak usah muluk-muluk bicara revolusi industri 4.0 atau artifical intellegence (AI) ketika angka kemiskinan masih bertengger di garis yang sama dari tahun ke tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com