KOMPAS.com - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani mengatakan bahwa harga rumah di Indonesia, khususnya di perkotaan semakin mahal.
"Persoalan papan (rumah) menjadi tantangan bagi Indonesia yang masih membutuhkan jawaban ekstra luar biasa dari semua stakeholder," kata Sri Mulyani dalam Securitization Summit 2022, di Jakarta, Rabu (6/7/2022), dikutip dari channel YouTube PT Sarana Multigriya Finansial (Persero).
Dia mengungkapkan, kondisi ini bahkan membuat banyak generasi muda yang baru saja berumah tangga lebih memilih tinggal dengan mertua atau menyewa rumah akibat kemampuan daya beli properti yang rendah.
Baca juga: Tanggapi Sri Mulyani, Dedi Mulyadi: Cara Pandang Kehutanan Jangan Sempit Sebatas Jual Kayu
"Kalau mertuanya punya rumah juga, kalau mertuanya tidak punya rumah tentu jadi masalah yang lebih lagi, jadi menggulung per generasi," ujar Sri Mulyani.
Selain persoalan daya beli masyarakat, menurut Sri Mulyani, dari sisi produsen atau suplai pun memiliki permasalahan.
Dia menjelaskan, biaya untuk membangun rumah semakin mahal, terutama karena harga tanah yang selalu meningkat khususnya di perkotaan dan bahan baku pembuatan yang terus naik.
Tak hanya itu, gejolak global berupa meningkatnya suku bunga juga memberi implikasi terhadap sektor perumahan.
"Beli rumah mortgage time-nya 15 tahun, di awal hanya berat di suku bunga, principle-nya di belakang. Dengan price rumah dan interest rate yang cenderung naik dengan inflasi tinggi maka masyarakat semakin sulit membeli,” jelasnya.
Tingginya harga rumah layak huni di Indonesia, khususnya di area perkotaan, memang telah lama menjadi masalah. Bahkan, rasio harga rumah di kota-kota besar di Indonesia lebih tinggi dibandingkan sejumlah kota besar di dunia.
Seperti diberitakan Kompas.com pada Jumat (15/10/2021), Direktur Perumahan dan Permukiman Kementerian PPN/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti dalam diskusi virtual Indonesia Housing Forum, Kamis (14/10/2021), saat itu menyampaikan bahwa harga rumah di Bandung, Jakarta, dan Denpasar lebih mahal dibandingkan di New York, Singapura, dan Tokyo-Yokohama.
""Rasio harga rumah terhadap pendapatan di kota-kota besar dunia menunjukkan bahwa kota-kota di Indonesia memiliki rasio yang melebihi New York, Tokyo, dan Singapura," kata Virgi.
Baca juga: Warga hingga Menkeu Sri Mulyani Duduki Tugu Titik Nol Geodesi IKN Nusantara
Berdasarkan data Kondisi Perumahan Perkotaan 2020, Bandung memiliki rasio 12,1, Denpasar 11,9, dan Jakarta 10,3. Sedangkan New York hanya 5,7, Singapura 4,8, dan Tokyo-Yokohama 4,8.
Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tentu tidak dapat membeli rumah di area perkotaan, sehingga mereka memilih tinggal di rumah yang murah, overcrowded, atau perumahan informal yang mungkin kualitasnya tidak baik.
Akibatnya rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni (RTLJ) masih terhitung tinggi yakni 36,76 persen.
Rumah tangga perkotaan yang tinggal di rumah dengan banyak anggota keluarga atau overcrowded sebesar 9,24 persen.