KOMPAS.com - Seorang remaja berusia 13 tahun diduga menjadi korban pencabulan seorang kakek berinisial TN (62), warga Kecamatan Matuari, Kota Bitung, Sulawesi Utara.
Polisi segera menangkap pelaku usai menerima laporan dari keluarga korban.
"Ibu korban mengecek handphone milik korban dan mendapati percakapan mencurigakan di WhatsApp, bahwa terduga pelaku mengajak korban untuk bertemu," jelas Kabid Humas Polda Sulut Kombes Pol Jules Abraham Abast, Rabu (8/6/2022).
Dari hasil pemeriksaan sementara, pelaku mengaku telah mencabuli korban sejak Januari hingga Juni 2022.
Baca juga: Mengapa Kejahatan Seksual Anak Terjadi di Lingkungan Terdekat?
Pakar psikolog forensik di Yogyakarta Kombes Pol Arif Nurcahyo menjelaskan, kejahatan seksual adalah kejahatan serius dan khas.
Kejahatan seksual bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja.
"Artinya siapapun bisa menjadi pelaku atau korban dan lebih dari satu (baik pelaku maupun korban).
Lalu, terjadinya kasus kejahatan seksual itu sendiri tak lepas dari relasi kuasa korban dan pelaku.
Baca juga: Lansia 62 Tahun Berulang Kali Cabuli Bocah 13 Tahun, Diketahui Orangtua Lewat Pesan WhatsApp
"Pemerkosaan (kejahatan seksual) terkait dengan kuasa yang tidak seimbang berupa serangan dan pemaksaan seksual secara sepihak sehingga orang lain menjadi obyek pemuas. Akibatnya, korban mengalami kerugian psikofisik paling dasar berupa mimpi buruk (trauma) sepanjang hidup," katanya kepada Kompas.com.
Menurut Kombes Yoyok, sapaan akrabnya, salah satu cara mencegah terjadinya kejahatan seksual adalah memberikan pendidikan seksual sejak dini.
Alasannya, seks memiliki sensasi psikofisis yang kuat dan melekat dalam alam bawah sadar dan ini berpotensi menimbulkan persoalan traumatis, direpres (dipendam) dan bersifat adiktif.
"Sehingga ketika dalam usia perkembangan tertentu seseorang secara sengaja atau tidak sengaja memiliki pengalaman seksual (melihat atau terlibat) berpotensi terjadi peristiwa traumatis yang sewaktu-waktu bisa muncul kembali atau mengubah cara pandang dalam memaknai soal seks. Bahkan bisa mengubah pd orientasi seksual tertentu," ulasnya.
Untuk itu, katanya, kesadaran untuk merawat dan memaknai alat reproduksi secara benar termasuk mengenal risiko bisa terwujud dalam proses pendidikan seks.
Lalu, dalam prosesnya anak-anak akan terbuka dan dan tak malu untuk membicarakan seks.
"Dengan itu anak akan menimbulkan rasa peduli dan paham terhadap ancaman dan berani bersikap. Hal ini akan meminimalisir relasi kuasa menjadi relasi setara sehingga kemungkinan menjadi korban menjadi lebih kecil," katanya.
Selain itu, kata Yoyok, metode pendidikan seks dalam muatan kurikulum di sekolah hendaknya dirancang secara menarik dan membuka ruang diskusi. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi rasa ingin tahu anak.
"Seks bukan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dan anak yang memiliki persoalan seks tidak untuk dimarahi atau ditertawakan atau bahkan dipersalahkan. Tetapi perlu ditemani dan disupport utk lebih berani terbuka," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.