NUNUKAN, KOMPAS.com – Penyelundupan kayu nibung dari perbatasan RI–Malaysia di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, menyisakan dilema dalam hal penegakan hukum.
"Persoalan nibung patut disikapi bersama. Butuh sebuah regulasi yang bisa menjadi barometer petugas di lapangan dalam menegakkan aturan. Jika ada kebijakan yang membolehkan penebangannya, berapa volumenya dan jangka waktunya berapa lama," ujar Danlanal Nunukan, Letkol Laut (P) Arief Kurniawan Hartanto, Rabu (16/2/2022).
Kebimbangan tersebut muncul manakala prajurit Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Nunukan mengamankan 10 orang yang tengah berusaha mengikat 480 batang kayu nibung di areal hutan Sebaung, dan hendak menariknya keluar menggunakan kapal kayu, Senin (14/2/2022).
Baca juga: Penyelundupan Kayu ke Malaysia Ancam Eksistensi Nelayan Teri di Pulau Sebatik
Mereka ternyata mempertaruhkan nyawa saat menebang pohon nibung. Sungai di area hutan nibung merupakan habitat buaya muara.
Untuk masuk ke area tersebut, mereka harus mengangkat mesin kapal dan mendayung perahu dengan risiko amukan predator air tersebut.
Namun, jika dibiarkan berlarut, aksi penyelundupan nibung ke Malaysia akan mengancam habitat kayu nibung. Menghilangkan eksistensi komoditas ekspor teri ambalat, dan menjadi alasan kemerosotan ekonomi bagi para nelayan bagan di perbatasan.
"Sementara jika hukum ditegakkan, keberadaan nelayan bagan akan hilang. Mereka tidak akan lagi bisa menebang pohon nibung untuk membangun bagan atau membenahi konstruksi bagan yang rusak akibat cuaca dan hantaman ombak," kata Arief lagi.
Arif mengatakan sudah berkonsultasi dengan UPT KPH Kaltara terkait persoalan nibung.
Jawabannya, nibung bukan termasuk kayu, tetapi merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Dan Pulau Sebaung, di mana pohon pohon nibung tumbuh, adalah wilayah hutan produksi.
Baca juga: Pelaku Penyelundupan Kayu ke Malaysia Ditangkap di Riau
Merujuk UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, bahwa pemungutan HHBK diperlukan adanya surat izin usaha.
Sementara, 10 orang yang diamankan prajurit TNI AL Nunukan, tidak mengantongi legalitas apapun.
Mereka hanya membekali diri dengan surat rekomendasi dari Kepala Desa dan koperasi nelayan bagan. Tidak ada batasan berapa batang yang boleh ditebang, sehingga mereka tidak menahan diri untuk memanen kayu nibung.
"Kami konsultasikan ke UPT KPH, tindakan itu salah. Patut diduga melanggar, dan diduga melakukan pemungutan hasil hutan bukan kayu dengan tidak disertai dokumen yang sah. Sesuai Undang-undang, ancaman pidananya sangat serius, di atas sepuluh tahun," kata Arief.
Prihatin dan merasa dilematis dengan kondisi para penebang pohon nibung, Arief lalu membawa mereka ke kantor Bupati Nunukan, Rabu (16/2/2022).
Baca juga: Satgas Pamtas Gagalkan Penyelundupan Kayu Cendana dan Kembang Api di Belu NTT
Nasib 10 orang tersebut lalu dibahas, dengan menghadirkan sejumlah instansi, ada Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Perikanan dan Keluatan, UPT KPH Kaltara, Bagian hukum Pemkab Nunukan, Polisi, Jaksa dan Anggota DPRD Nunukan.