KOMPAS.com - Erupsi Gunung Semeru terjadi sepekan lalu, tepatnya Sabtu (4/12/2021). Peristiwa alam tersebut meluluhlantakan beberapa wilayah.
Selain itu ada puluhan orang yang meninggal dna ribuan orang tinggal di pengungsian
Mahriyeh (70) tak menyangka jika ia harus terpisah dengan suaminya, Miran (80) saat erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (4/12/2021).
Wahriyem adalah warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang.
Baca juga: Bahan Makanan Melimpah, Pengungsi Semeru Butuh Air Bersih hingga Perlengkapan Mandi
Sambil menangis, ia bercerita peristiwa yang terjadi sepekan lalu.
Menurut Wahriyem, ia hanya tinggal berdua dengan suaminya dan tak bernah berpisah lama selama pernikahan lebuh dari setengah abad.
Bahkan mereka juga bersama-sama menggarap lahan pertanian dan tinggal di gubuk agar bisa menjaga padi dari serbuan monyet.
Tapi sejak sebulan terakhi, Wahriyem tidak tinggal di gubuk. Ia pulang ke rumah karena sesak napasnya kambuh.
Baca juga: Update Sepekan Erupsi Semeru: 45 Tewas, 9 Hilang, 6.573 Mengungsi
Wahriyem kemudian mengajak suaminya pulang ke rumah. Tapi sang suami menolaknya. Ia pun kembali ke rumah karena kondisi kesehatannya belum puluh.
"Sebenarnya pagi itu saya ajak dia pulang saja karena takut ada banjir. Tapi dia bilang 'biarkan saja banjir,'" kenang Mahriyeh, Selasa (7/12/2021).
Lima jam kemudian, warga di sekitar rumahnya menjerit histeris dan meneriakkan kabar jika Gunung Semeru meletus.
Kondisi bertambah kacau karena situasi berubah gelap gulita.
Baca juga: Curi Barang dari Rumah Korban Letusan Semeru, Pria Ini Diamuk Massa
Dituntun cucu dan anaknya, Mahriye pergi ke lokasi yang aman. Ia menangis saat teringat sang suami yang sendirian di ladang padi mereka.
Selama dua malam di pengungsian, kabar Miran masih belum ditemukan. Nama Miran masuk dalam daftar nama dua warga Kajarkuning yang hilang.
Kata Mahriyeh, seandainya dirinya tidak sedang sakit tentu dia tidak akan terpisahkan dari Miran.
Baca juga: Kisah Rumini, Erupsi Semeru, dan Goresan Tangan Uky Tantra...
Sementara itu, posisi ladang dan gubuk yang dihuni Miran di lokasi yang berbahaya karena kemungkinan dilewaati banjir lahar dingin.
Oleh anak, cucu dan kerabatnya, Mahriyem diajak mengungsi ke Blitar. Tapi dia enggan meninggalkan barak pengungsian sebelum miran pulang.
Karena tak ada pilihan, Mahriyem pun ikut ke Blitar dan ia kerap menanyakan ke anaknya kalau sang suami, Miran kembali pulang.
Mereka adalah warga Desa Curah Koboan, Kecamatan Candirpuro, Lumajang. Diceritakan Rumini rela menemani sang ibu, Salamah hingga detik-detik hidupnya