KALAU orang tanya, seberapa saya mengenal Bukittinggi, kota sejarah perjuangan Indonesia yang pernah menjadi ibukota pemerintahan darurat Republik Indonesia di masa revolusi, maka saya bisa jawab singkat: sangat (lumayan) kenal.
Memang bukan karena saya lahir dan besar di sini, tetapi karena saya menikah dengan putra Bukittinggi asli hampir 20 tahun silam. Artinya, perjalanan hidup kami membuat saya 2-3 kali ke sini setiap tahun, menengok mertua di masa mudik Hari Raya.
Terbayang, berarti paling sedikit 50 kali sudah saya ke kota cantik dikepung gunung ini. Saking girangnya dengan gunung-gunung berapi ini, hampir setiap saat saya memotret gunung (Singgalang atau Merapi) dari tempat saya berdiri di manapun.
Bahkan, keluar dari pagar rumah mau ke warung, menengok ke kanan, langsung tampak Singgalang dengan gagahnya. Gunung-gunung ini adalah semangat dan energi saya, yang kadang habis karena penat di ibu kota. Beruntungnya saya!
Tapi, tetap saja biar puluhan kali ke sini, setelah selesai “tugas keluarga” saya selalu merengek minta ditemani ke tempat yang bukan objek turis.
Mudik tahun ini, pengin pergi ke sebuah kanagarian persis di lereng Gunung Singgalang. Namanya Koto Tuo. Kanagarian yang konon seluruh penduduknya yang cuma puluhan rumah ini, hidup sangat agraris. Jadi petani dan pekebun.
Satu lagi, pengin pergi ke Suliki, Payakumbuh. Dua jam dari sini. Daerah penghasil salak terbesar di Sumatra Barat.
Kalau di kota, tetap lokasi favorit saya ya ke pasar tradisional. Pasar Atas (Pasa Ateh), tempat kita mencari produk kain-kainan dengan sentuhan bordir mesin hitam, tenun, krancang, suji cai (sulam suji cair)atau rendo (rajut) dan Pasar Bawah (Pasa Bawah) yang menjadi sumber utama bahan pangan masakan enak di sini.
Tentang kedua pasar ikonik ini, pendek-pendek saya ulas di media sosial saya. Ada niatan juga menulisnya lengkap.
Kini, saya pengin menceritakan tangkapan saya, tentu subjektif ya, tentang bagaimana orang-orang di kota kecil dengan luas cuma 25 kilometer persegi lebih sedikit ini, memberdayakan diri dan kemampuan sendiri untuk hidup dan memenuhi kebutuhan hariannya. Bahasa keren yang sering wara-wiri di tahun politik sekarang: ekonomi lokal.
Orang luar Bukik (demikian Bukittinggi biasa dipanggil singkat) yang baru pertama kali ke sini, pasti heran ketika berkunjung ke sini tidak menemukan satu pun toko ritel yang jaringannya sangat raksasa di tanah air.
Anda pasti akrab belanja di toko ritel yang saya maksud: toko “A” atau “I”, yang pasti ada di mana pun Anda berada di kota besar dan kecil di tanah air. Bahkan di sekitar komplek rumah saya di Depok, dua toko ritel ini bisa bersaing ada hanya dalam jarak 50 meter.
Di Bukik, tak ada satu pun toko tersohor ini. Saya ulang: tak satu pun. Ini cukup bikin heran, karena kedua toko ini rantai terbesar di tanah air yang tak pernah ditolak keberadaannya di mana pun.
Suami saya bilang, keduanya memang ditolak oleh orang Bukik sejak awal. Mereka khawatir kehadirannya merusak kemandirian ekonomi yang mereka miliki sejak dulu kala.
Sebagai gantinya, kita sangat mudah menemukan warung yang sangat lengkap. Bahkan, tetangga berdempetan tembok dengan mertua saya, punya warung super lengkap yang mirip mini mart.