Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Bukittinggi, Perempuan, dan Canggihnya Ekonomi Lokal

Kompas.com - 10/06/2019, 08:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KALAU orang tanya, seberapa saya mengenal Bukittinggi, kota sejarah perjuangan Indonesia yang pernah menjadi ibukota pemerintahan darurat Republik Indonesia di masa revolusi, maka saya bisa jawab singkat: sangat (lumayan) kenal.

Memang bukan karena saya lahir dan besar di sini, tetapi karena saya menikah dengan putra Bukittinggi asli hampir 20 tahun silam. Artinya, perjalanan hidup kami membuat saya 2-3 kali ke sini setiap tahun, menengok mertua di masa mudik Hari Raya.

Terbayang, berarti paling sedikit 50 kali sudah saya ke kota cantik dikepung gunung ini. Saking girangnya dengan gunung-gunung berapi ini, hampir setiap saat saya memotret gunung (Singgalang atau Merapi) dari tempat saya berdiri di manapun.

Bahkan, keluar dari pagar rumah mau ke warung, menengok ke kanan, langsung tampak Singgalang dengan gagahnya. Gunung-gunung ini adalah semangat dan energi saya, yang kadang habis karena penat di ibu kota. Beruntungnya saya!

Tapi, tetap saja biar puluhan kali ke sini, setelah selesai “tugas keluarga” saya selalu merengek minta ditemani ke tempat yang bukan objek turis.

Mudik tahun ini, pengin pergi ke sebuah kanagarian persis di lereng Gunung Singgalang. Namanya Koto Tuo. Kanagarian yang konon seluruh penduduknya yang cuma puluhan rumah ini, hidup sangat agraris. Jadi petani dan pekebun.

Satu lagi, pengin pergi ke Suliki, Payakumbuh. Dua jam dari sini. Daerah penghasil salak terbesar di Sumatra Barat.

Kalau di kota, tetap lokasi favorit saya ya ke pasar tradisional. Pasar Atas (Pasa Ateh), tempat kita mencari produk kain-kainan dengan sentuhan bordir mesin hitam, tenun, krancang, suji cai (sulam suji cair)atau rendo (rajut) dan Pasar Bawah (Pasa Bawah) yang menjadi sumber utama bahan pangan masakan enak di sini.

Pasar Bawah yang dilatari Gunung Singgalang.IMELDA BACHTIAR Pasar Bawah yang dilatari Gunung Singgalang.

Tentang kedua pasar ikonik ini, pendek-pendek saya ulas di media sosial saya. Ada niatan juga menulisnya lengkap.

Kini, saya pengin menceritakan tangkapan saya, tentu subjektif ya, tentang bagaimana orang-orang di kota kecil dengan luas cuma 25 kilometer persegi lebih sedikit ini, memberdayakan diri dan kemampuan sendiri untuk hidup dan memenuhi kebutuhan hariannya. Bahasa keren yang sering wara-wiri di tahun politik sekarang: ekonomi lokal.

Dari mini mart sampai delivery service

Orang luar Bukik (demikian Bukittinggi biasa dipanggil singkat) yang baru pertama kali ke sini, pasti heran ketika berkunjung ke sini tidak menemukan satu pun toko ritel yang jaringannya sangat raksasa di tanah air.

Anda pasti akrab belanja di toko ritel yang saya maksud: toko “A” atau “I”, yang pasti ada di mana pun Anda berada di kota besar dan kecil di tanah air. Bahkan di sekitar komplek rumah saya di Depok, dua toko ritel ini bisa bersaing ada hanya dalam jarak 50 meter.

Di Bukik, tak ada satu pun toko tersohor ini. Saya ulang: tak satu pun. Ini cukup bikin heran, karena kedua toko ini rantai terbesar di tanah air yang tak pernah ditolak keberadaannya di mana pun.

Suami saya bilang, keduanya memang ditolak oleh orang Bukik sejak awal. Mereka khawatir kehadirannya merusak kemandirian ekonomi yang mereka miliki sejak dulu kala.

Sebagai gantinya, kita sangat mudah menemukan warung yang sangat lengkap. Bahkan, tetangga berdempetan tembok dengan mertua saya, punya warung super lengkap yang mirip mini mart.

Ia menjual dari roti sampai es krim dan aneka camilan kering yang ditata sedemikian rupa sehingga kita bisa ambil sendiri kebutuhan kita. Ada juga toiletries sampai sikat panjang-sapu-sapu lidi-pengki. Jelas sangat memudahkan ibu mertua dan penghuni daerah ini yang sudah lansia.

Motor masuk pasar.IMELA BACHTIAR Motor masuk pasar.

Untuk kebutuhan bulanan, di kota kelahiran bapak bangsa Bung Hatta ini ada dua mini mart yang rasanya tidak tepat disebut mini lagi. Niagara dan satu lagi Budiman. Saya langganan dua-duanya.

Niagara, yang jumlahnya “hanya” tiga di seluruh kota ini, bahkan menjual daging, bumbu dan sayuran segar. Sedangkan Budiman top dengan buah-buah segar dan aneka keripik dan kue jadul buatan rumahan.

Saya yang hobi camilan, suka sekali nguprek oleh-oleh di sini. Selain keduanya, ada puluhan bahkan ratusan lagi yang kecil-kecil dengan nama bermacam-macam.

Jaringan hotel sampai losmen yang juga jadi kebutuhan utama kota wisata terkenal ini, lebih banyak dikelola penduduk setempat. Hanya Novotel yang dikelola rantai internasional. Itupun baru-baru saja.

Sedangkan hotel lainnya yang umurnya bahkan lebih tua dari perkawinan saya, berdiri atas modal dan sistem kelola mandiri. Sebut saja hotel Dymen, Denai, Pusako dan puluhan lain hotel kecil setingkat losmen yang apik dan bersih. Kita bisa telusuri dengan mudah di internet, bila minat menginap di tempat seperti ini.

Sekali lagi, tidak ada rantai budget hotel  yang kita kenal di Jakarta dan kota-kota besar lain, ada di sini.

Lalu yang terbaru adalah usaha sistem kirim barang dan jasa titip belanja yang baru setahun ini ada. Namanya cukup gampang diingat: Jam Gadang Kurir (JGK).

Jam Gadang Kurir.IMELDA BACHTIAR Jam Gadang Kurir.

Kalau baca tagline-nya kita bisa senyum-senyum sendiri. Jam Gadang Kurir, Delivery Urang Awak. Pesannya sampai.

Layanan ini jelas ingin mengajak pelanggannya beralih dari jasa layanan pesan-antar yang sudah terkenal seantero negeri ini, duo “G”. Ini kurirnya orang Minang, begitulah kira-kira.

Apa kelebihannya?

Para kurir JGK, anak-anak muda 20-an tahun terdiri dari anak nongkrong berkendaraan motor yang hafal aneka tempat makan dan seluk-beluk pasar di Bukik. Mereka juga memastikan kita bayar persis seperti harga barang atau makanan. Tidak dilebihkan seperti layanan pesan makanan lain.

Mereka siap mencari sampai ke dalam pasar, bila diminta membeli bumbu basah dan daun-daunan yang sulit. Dan untuk semua itu mereka mengutip ongkos sangat murah. Hanya Rp 12 ribu dengan jarak dari rumah mertu di Gulai Bancah ke pasar yang 3 kilometer.

Perempuan yang berdaya

Kaum perempuan juga motor penggerak ekonomi. Mereka pengrajin sulam, bordir dan aneka kerajinan khas dari kain yang sudah terkenal bahkan sampai negara tetangga.

Saya bertukar cerita dengan Ety Rendo, perempuan paruh baya pengrajin rajutan di Pasar Atas yang di sini namanya rendo. Orang tua tunggal dengan tiga anak ini sudah jago merajut sejak usia sekolah dasar.

Ketika suami pergi meninggalkannya, ia pilih menekuni merajut bukan lagi sebagai hobi, tapi nafkah. Pemda Bukittinggi juga membantu menyalurkan dan menjual karyanya, sehingga Ety punya penghasilan yang pasti.

Ibu Yui, adik ibu mertua, yang juga sudah lansia, adalah seorang pengrajin bordir mesin hitam. Ia telah puluhan tahun mencari nafkah dari keterampilan ini. Sambil mengurus rumah dan membesarkan anak-anak, ia bekerja menyulam dengan mesin hitamnya setiap hari.

Di sini, bila perempuan mahir menyulam dengan mesin hitam, maka hasil karyanya dihargai tinggi karena nyeni dan sulit. Hanya mereka yang menyulam sejak kecil yang bisa menghasilkan sulaman mesin hitam yang halus.

Ibu Yui juga menerima pekerjaan perusahaan konveksi membuat kerudung. Kain-kain untuk dibuat baju gamis atau baju kurung yang telah disulam mesin hitam, dibawa ke berbagai butik dan gerai sulam di Pasar Atas.

Memang tak cepat menghasilkan uang, tapi kerja kreatifnya telah berhasil menghidupi dan menyekolahkan anak bersama suami yang PNS.   

Ety Rendo dan karyanya.IMELDA BACHTIAR Ety Rendo dan karyanya.

Belum lagi usaha Nasi Kapau, nasi campur khas masakan Bukik yang pusat penjualan utamanya ada di Los Lambuang Pasar Atas. Dengan mudah kita temukan merek dagangnya semua perempuan. Ada Nasi Kapau Uni Lis, Nasi Kapau Uni Ca dan banyak lainnya.

Khasnya lauk-pauk (samba orang sini bilang) nasi campur ini: rendang daging/ayam, dendeng batokok, ayam bumbu, tambunsu, kalio babek, kalio tunjang, gulai sayur Kapau dan masih banyak lagi.

Sebetulnya banyak orang belum tahu, Nasi Kapau, seperti namanya, berasal dari daerah bernama Kapau di luar Bukittinggi. Letaknya sekitar 2 kilometer arah utara Bukittinggi. Di Kapau ini, bahkan nasi campur yang kita beli di pasar, rasanya lezat menggoyang lidah.

Ibu-ibu banyak yang mendukung sendiri mangkok-mangkok besi besar dari rumah yang isinya lauk matang masakan sendiri, yang siap dijual di warung nasinya di pasar. 

Kalau ada orang luar mencoba ingin membuat sendiri masakan-masakan ini di rumah, hampir dipastikan sulit menyamai, kalau tidak pasti gagal.

Untunglah beberapa tahun ini ada seorang perempuan, Ety STR namanya yang juga menjadi nama merek dagangnya, yang khusus punya usaha bumbu masak khas masakan Bukittinggi di dalam Pasar Bawah.

Jangan ditanya berapa omzetnya sehari, karena orang bisa antre sangat panjang hanya untuk membeli cabai giling segar, bumbu rendang atau asam padeh.

Kalau ingin buat bawa ke Jakarta, misalnya, ada bumbu matang yang sudah ditumis, tanpa pengawet dan hanya tahan dua minggu saja. Sangat menolong kalau kita ingin masak serupa Nasi Kapau di rumah.

Kios bumbu Ety STR di Pasar Bawah.IMELDA BACHTIAR Kios bumbu Ety STR di Pasar Bawah.

Perempuan-perempuan di sini jagoan memasak, bukan cerita baru. Perempuan Minang, memang pas disebut Bundo Kanduang dari sisi ini.

Setiap daerah Minang punya masakan khas, bahkan setiap rumah punya masakan andalan. Maka ada petitih, setiap lelaki Minang yang sudah lama merantau, pasti pulang karena kangen masakan ibunya. Misalnya, Ayam Lado Hijau karya ibu mertua, pasti selalu dicari suami bila mudik.

Bila di sini, ia bisa berhari-hari hanya makan masakan ini plus ketimun diiris. Tak pernah bosan. Begitu kuatnya masakan ibunda mengikat mereka kembali lagi setiap tahun untuk sekadar peluk ibu dan mencicipi lagi masakannya.

Banyak orang sudah tahu, suku Minang adalah suku matrilineal. Garis ibu atau garis perempuan sangat kuat dan yang utama di sini, yang diejawantah dalam konsep Bundo Kanduang. Yang saya ceritakan ini cuma sedikit dari gambaran utuh peran perempuan di ranah Sumatra Barat.

Akhirnya kembali saya sadar, di Bukittinggi orang tak perlu diberi orasi soal kemandirian ekonomi lokal atau usaha rintisan yang bahasa kerennya “start-up” atau “-corn companies” itu.

Istilah yang hanya wara-wiri lewat orasi politik di televisi itu, sudah mereka jalankan sejak dulu. Puluhan tahun lalu. Turun-temurun kemampuan hidup mandiri ini dibekali orang tua kepada anak-anaknya.

Kita malah mesti belajar dari mereka. Lihat peluang lokal, kebisaan pribadi, gunakan itu untuk mandiri membiayai hidup sehari-hari. Terima kasih, urang Bukik!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com