Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cari Penyebab Stunting, Batan Uji Mikro Nutrisi dan Lingkungan NTT

Kompas.com - 11/02/2019, 06:35 WIB
Reni Susanti,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


BANDUNG, KOMPAS.com – Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengambil 400 sampel makanan yang biasa dikonsumsi terutama oleh ibu hamil, bayi, dan anak, di Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Sampel diambil dari daerah dengan kasus stunting tinggi. Dengan meneliti daerah tersebut, diharapkan bisa menjawab penyebab stunting di Indonesia,” ujar Plt Kepala Batan Efrizon Umar, kepada Kompas.com, di Bandung, Minggu (10/2/2019).

Efrizon mengatakan, penelitian ini merupakan program prioritas nasional yang digagas LIPI dan Kementerian Pertanian. Batan dilibatkan untuk melakukan analisis dari sisi mikro nutrisi dan lingkungan.

Baca juga: Di NTT, Harus Buat Laporan Pencegahan Stunting untuk Dapat Dana Desa

Kepala Pusat Sains Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT) Batan Jupiter Sitorus Pane mengatakan, Batan dilibatkan karena teknologi yang dimiliki sudah teruji.

“Ketika pemeriksaan nutrisi, kami bisa periksa polutan apa saja yang ada di daerah tersebut. Apakah ada pengaruhnya terhadap kekerdilan atau kecerdasan, dan lainnya,” ungkap dia.

Jupiter mengatakan, pihaknya akan melakukan penelitian dari berbagai aspek sedetail mungkin. Apakah stunting disebabkan karena genetik, nutrisi makanan, atau faktor lingkungan.

Dari berbagai aspek ini, Batan akan melihat dan mengamati dari mikronutrisibda dan kondisi lingkungan di daerah-daerah yang mengalami kekerdilan.

“Kami gunakan teknologi analisis nuklir. Teknologi ini bisa memeriksa lebih detail sampai sekecil apapun. Unsur-unsur yang berpengaruh terhadap stunting mungkin akan terlihat,” kata dia.

“Teknologi analisis nuklir kemungkinan bisa melihat dari nutrisi, lingkungan, dan polutan yang ada,” sebut dia.

Penelitian ini, sambung dia, ditargetkan selesai tahun ini. Hasilnya berupa rekomendasi, misalnya nutrisi harus seimbang.

Baca juga: Bersama Menanggulangi Stunting

“Misal, makan terus kok, tapi (makannya) nasi terus, unsur lain lupa. Ini banyak terjadi di Indonesia. Padahal, makan harus bervariasi,” pungkas dia.

WHO menetapkan, batas toleransi stunting maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita.

Sementara, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen, turun menjadi 28 persen pada tahun 2019.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com