Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Anggiasari, Caleg Penyandang Disabilitas yang Berjuang Lewat Politik

Kompas.com - 07/02/2019, 08:20 WIB
Wijaya Kusuma,
Khairina

Tim Redaksi

Anggiasari juga bukan pribadi yang lantas menyerah dengan keadaan. Ia berangkat dan pulang sekolah secara mandiri dengan menggunakan angkot.

Meskipun diakuinya cukup sulit untuk naik ke angkot karena belum ramah bagi penyandang disabilitas.

"Seminggu awal diantar, terus ditunjukkan angkotnya apa, turun di mana, ya terus naik angkot sendiri. Jadi, waktu itu baju saya sering kotor, karena harus setengah merangkak untuk naik, dan jalanan kan waktu itu masih banyak yang tanah," kenangnya.

Perjalanan Anggiasari untuk bisa berdamai dengan dirinya pun tidak mudah.

Saat di sekolah dasar (SD), Anggiasari mulai menyadari adanya perbedaan fisik dengan teman-teman lainnya.

Baca juga: Djumono, Satu-satunya Caleg Difabel di Indonesia

Ditambah lagi, perempuan yang murah senyum ini harus menahan emosinya karena terkadang menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari beberapa orang, baik saat di angkot maupun saat berpapasan di jalan.

"Terakhir, saya nangis diledekin itu saat SD. Setelah itu saya bertekad tidak pernah akan menangis lagi, yang bisa saya lakukan adalah menantang diri sendiri untuk lebih baik lagi," jelasnya. 

Dari berbagai pengalaman tidak mengenakkan itu, Anggiasari pun akhirnya justru bisa menerima keadaannya dan berdamai dengan dirinya.

Hal ini juga tak luput dari dukungan keluarga yang selalu memberikan motivasi dan menguatkan Anggiasari.

"Kalau anak lain mungkin minder ya, tapi kalau saya ya biarin aja. Saya berfikir, kita kan tidak bisa mengontrol apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. Yang terpenting, saya punya tekad sendiri, jalan hidup sendiri, terserah orang mau bilang apa," urainya.

"Dalam hidup ini saya percaya Tuhan itu baik dan punya rencana yang indah dengan diri saya. Jadi kalau orang lain menghina saya berarti sama saja menghina Tuhan," ungkapnya. 

Menurutnya, seperti orang tua pada umumnya, ibunya sangat peduli dan protektif.

Namun, sang ibu tidak sampai over protektif sehingga mengekang kebebasan Anggiasari dalam berekspresi, berkegiatan, berteman, dan sekolah.

"Saya belajar berpendirian teguh dan mempunyai tekad yang kuat itu dari Ibu. Keluarga memang punya peran besar, keluarga support system yang paling penting untuk kehidupan anak, terutama anak disabilitas," urainya.

Lewat tekad yang kuat, akhirnya Anggiasari Puji Aryatie bisa lulus dari jenjang SMA.

Setelah lulus SMA, ia pindah ke Yogyakarta dan berhasil masuk ke Jurusan Sastra Perancis Universitas Gadjah Mada (UGM).

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com