Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Praktik Calo di Bandara Internasional Minangkabau

Kompas.com - 19/11/2018, 16:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menurut cerita sesama sopir travel, ketika pembangunan BIM dimulai, terjadi tarik-menarik antara para wali nagari dan ninik mamak yang mewakili pemilik tanah pusako tinggi yang menjadi lokasi pembangunan BIM.

Hampir seluruh wilayah BIM seluas hampir 15 hektar itu dibangun di atas tanah pusako tinggi. Itulah yang menyebabkan para wali nagari dan ninik mamak ikut serta dalam proses alih tanah sebelum pembangunan BIM.

Kesepakatan antara mereka, anak-anak muda kampung sekitar diberi pekerjaan sebagai penghubung antara penumpang dan mobil-mobil pribadi yang mencari rezeki sebagai pengantar penumpang dari BIM ke kota-kota di Sumatera Barat.

Tampaknya, kesepakatan itu dilakukan tanpa "hitam di atas putih", sehingga yang terjadi kemudian adalah praktik calo dan pungutan liar yang membuat para calo bisa mengambil untung semau-maunya.

Para sopir? Merekalah yang paling terjepit. Sudah mendapat rupiah paling sedikit, mereka pula yang "ditindas" oleh para calo.

"Kami besok tidak dikasih penumpang lagi kalau tidak menurut dengan aturan dia. Itu artinya kami tidak makan," kata si sopir yang menjadi orangtua tunggal atas seorang putri di Batusangkar itu.

Maka, kalau bisa membawa pulang Rp 100.000 satu hari, itu luar biasa bagi dia.

Berharap pada pemerintah

Sekarang, satu-satunya harapan, semoga Pemerintah Daerah Sumatera Barat bisa menjadi penengah.

Harapan para sopir travel ini sederhana. Mereka ingin mendapat upah yang layak dan sepantasnya.

"Untuk satu kepala Rp 50.000 saja itu sudah tarif yang wajar. Lagipula alangkah bagus bila kami-kami ini dikelola dan dikoordinasi secara baik dan tertib. Ini untuk menambah nilai pariwisata Sumatera Barat juga," katanya lagi.

Saya berpihak padanya. Rasanya pantaslah sebuah bandara yang punya predikat "internasional" membuat aturan rapi tentang moda transportasi ke kota-kota di Sumatera Barat.

Bukan hanya supaya semua merasakan rezeki yang adil, tetapi juga turis asing pun makin santai melenggang di ranah Minang dan menikmati wisata Bukit Barisan ini.

Wonderful Indonesia!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com